Perempuan Dalam Politik Indonesia

Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI) Teddy Chrisprimanata Putra. (gemapos/dok.pribadi)
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI) Teddy Chrisprimanata Putra. (gemapos/dok.pribadi)

Politik adalah salah satu aspek penentu kebijakan-kebijakan strategis sebuah negara, dan perempuan Indonesia harus lebih banyak terlibat dalam kancah politik di Indonesia. Pada 8 Maret tiap tahunnya, kaum perempuan selalu memperingati Hari Perempuan Sedunia atau International Women’s Day. Momen ini menjadi ajang bagi kaum perempuan dalam merefleksikan gerakan-gerakan kesetaraan jender di seluruh belahan dunia.

Telah disahkannya Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi salah satu kabar baik bagi gerakan perempuan di Indonesia. Beberapa rancangan undang-undang (RUU) pun menanti untuk disahkan, seperti RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak dan RUU tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender. Produk legislasi semacam ini perlu terus dibicarakan agar mendapat perhatian lebih dari publik.

Perjuangan dalam meloloskan produk legislasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tentu harus diperjuangkan melalui semua cara. Tidak hanya didorong dari luar melalui kelompok-kelompok peduli terhadap isu perempuan, tetapi juga harus diperjuangkan dari dalam. Kaum perempuan juga harus memiliki wakil rakyat yang benar-benar memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu perempuan. Mengingat lobi-lobi politik terjadi di dalam lembaga perwakilan rakyat tersebut.

Masih Minimnya Keterlibatan Perempuan

Meski telah meningkat, namun representasi perempuan di lembaga legislatif belum menembus angka 30 persen. Pada periode 2019 – 2024, dari 575 orang anggota DPR RI, 120 orang diantaranya adalah perempuan atau setara dengan 20,87 persen. Jumlah tersebut meningkat dari jumlah anggota DPR RI perempuan pada periode 2014 – 2019. Pada periode tersebut terdapat 97 orang perempuan atau setara dengan 16,86 persen yang berhasil berkantor di Senayan.

Minimnya keterlibatan perempuan di kancah politik nasional kembali terlihat pada Pemilu 2024. Hal ini bisa dilihat dari jumlah perempuan yang terlibat menjadi tim inti di masing-masing pasangan calon yang berkontestasi di Pilpres 2024. Pada Tim Nasional (Timnas) Pemenangan AMIN, dari total 299 nama yang masuk ke jajaran tim inti, jumlah tokoh perempuan yang masuk ke dalam Timnas AMIN hanya berjumlah 42 orang atau sekitar 14 persen. Selanjutnya, pada Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, dari total 270 nama yang masuk ke dalam TKN, hanya terdapat 32 tokoh perempuan yang tergabung di dalamnya atau sekitar 12 persen.

Lebih baik dari dua kompetitornya, jumlah tokoh perempuan di dalam Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud sebanyak 122 orang dari 654 orang, atau setara dengan 18,65 persen. Realitas ini menunjukkan bahwa politik di Indonesia masih terasa kental maskulinitasnya. Padahal berdasarkan data Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang dirilis KPU, jumlah pemilih perempuan masih lebih besar tinimbang jumlah pemilih laki-laki. Jumlah pemilih perempuan sebesar 102.588.719 jiwa, lebih banyak 370.216 jiwa dibandingkan pemilih laki-laki.

Sulitnya partai politik dalam merekrut caleg perempuan pada pemilu juga dapat dirasakan pada edisi 2024. Beberapa teman perempuan dari penulis pun pernah bercerita sempat ditawari untuk menjadi caleg pada Pemilu 2024 dengan tawaran imbalan uang tunai yang jumlahnya tidak sedikit. Upaya-upaya partai politik tersebut tentu untuk memenuhi syarat minimal 30 persen keterwakilan perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil). Bahkan dalam proses pendaftaran caleg, masih banyak partai politik yang belum mampu memenuhi syarat minimal 30 persen caleg perempuan di setiap dapilnya.

Fenomena partai politik yang selalu kesulitan merekrut caleg perempuan justru harus dipandang sebagai kegagalan partai politik melakukan fungsinya, yakni fungsi kaderisasi. Apabila melihat kesaksian beberapa teman penulis, maka dapat dipastikan partai politik di Indonesia sangatlah pragmatis, tidak mendahulukan proses. Alih-alih menyiapkan kader-kader perempuan potensial, partai politik justru memilih jalan ‘membayar’ figur-figur perempuan untuk mau dipasang sebagai caleg di dapil-dapil yang masih belum memenuhi syarat.

Menjadi wajar apabila keterlibatan perempuan masih minim di setiap konstelasi politik, melihat cara-cara yang digunakan oleh partai politik sebagai salah satu pilar penting demokrasi pun sangat pragmatis.

Lemahnya Komitmen Kebijakan Afirmasi Keterwakilan Perempuan

Alih-alih penguatan kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan, pada Pemilu 2024 justru publik dipertontonkan pelemahan terhadap afirmasi keterwakilan perempuan. Pelemahan tersebut dilakukan secara kolektif oleh pemerintah, lembaga legislatif, dan penyelenggara pemilu. Terbitnya PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota adalah wujud nyata upaya pelemahan tersebut.

Pada peraturan tersebut, khususnya pada Pasal 8 ayat (2) memberi dampak pada keterwakilan perempuan kurang dari 30 persen pada sejumlah dapil, yaitu dapil yang jumlah calegnya 4, 7, 8, dan 11. Pengaturan tersebut dijelaskan lebih detail dalam Keputusan KPU No. 352 Tahun 2023 tentang Pedoman Teknis Pengajuan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Dalam perjalanannya, oleh Mahkamah Agung PKPU tersebut dibatalkan dan mengharuskan KPU untuk memperbaiki peraturan tersebut agar sesuai dengan Undang-Undang NO. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sebagai salah satu payung hukumnya. Meski demikian progress KPU terkesan lambat, justru KPU terlihat gerak cepat saat merespon Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90 soal batas usia pencalonan pada Pilpres.

Melihat situasi tersebut, tantangan dalam meningkatkan keterlibatan perempuan dalam kehidupan berpolitik di Indonesia masih menghadapi tembok tinggi nan tebal yang mesti diruntuhkan. Tetapi, meruntuhkan tembok yang mengalangi upaya-upaya peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik bukanlah misi yang mustahil—tinggi dan tebalnya tembok Berlin saja bisa runtuh, masak tembok yang ini engga bisa dirobohkan? Hehe.

Penguatan kebijakan-kebijakan afirmasi keterlibatan perempuan dalam politik dan mendorong partai politik berperan aktif dalam menjalankan fungsinya sebagai wadah kaderisasi pemimpin bangsa, khususnya kader perempuan menjadi dua hal penting yang mesti disoroti oleh publik. Panggung politik belum usai, setelah pemilu masih ada pilkada serentak yang menanti. Harus ada figur-figur perempuan potensial yang terlibat dalam kontestasi di masing-masing daerah.

Peran dari tokoh-tokoh politik perempuan yang sudah eksis harus mampu menjadi corong dan role model untuk menggaet tokoh-tokoh perempuan baru untuk terjun ke dunia politik. Tidak hanya sebagai ‘pemanis’ saja, tetapi juga penentu berbagai kebijakan strategis bangsa. Akankah hal tersebut dapat terwujud?

Teddy Chrisprimanata Putra, Sekretaris Jenderal PP KMHDI