Berbagi Cerita Soal Kesetaraan Gender Dari Berbagai Negara

Anggota Bawaslu Lolly Suhenty saat pleno keempat dalam sidang pleno kelima (Fifth Plenary Assembly) Global Network on Electoral Justice (GNEJ) di Bali, Selasa (11/10/2022). (ist)
Anggota Bawaslu Lolly Suhenty saat pleno keempat dalam sidang pleno kelima (Fifth Plenary Assembly) Global Network on Electoral Justice (GNEJ) di Bali, Selasa (11/10/2022). (ist)

Gemapos.ID (Jakarta) - Para delegasi GNEJ dari berbagai negara berbagi cerita soal kesetaraan gender. Mulai dari perkembangan sampai tantangan yang terjadi saat ini.

Hal tersebut diceritakan saat pleno keempat dalam sidang pleno kelima (Fifth Plenary Assembly) Global Network on Electoral Justice (GNEJ) di Bali, Selasa (11/10/2022).

Anggota Bawaslu Lolly Suhenty menjelaskan pentingnya kesetaraan gender, sebab hal itu demi menunjang terwujudnya keadilan dan kesetaraan politk representasi warga negara.

Perjuangan kesetaraan gender di Indonesia, kata Lolly, telah berlangsung sejak lama, pada masa pemerintahan Presiden RI, Abdurahman Wahid mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan (Inpres PUG).

Kemudian, kata Lolly, Indonesia juga telah menandatangani dokumen kesepakatan global tentang Sustainable Development Goals (SDG) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). 

"Salah satu tujuannya adalah untuk mencapai kesetaraan gender serta memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan," ujarnya dalam forum tersebut.

Lolly menjelaskan bentuk ketidakadilan gender terhadap perempuan masih menjadi hambatan perjuangan kesetaraan gender di Indonesia. Misalnya, soal stereotipe atau pelabelan cap negatif terhadap perempuan dalam politik.

"Perempuan dianggap tidak pantas menduduki jabatan politik," katanya.

Selain itu, kata dia, marginalisasi dalam politik, masih terjadi beban ganda yang menjadikan perempuan terbebani dengan banyak tugas. Hambatan juga adanya subordinasi terhadap perempuan yang menempatkannya pada posisi tidak strategis dalam posisi politik, jabatan politik maupun pengambilan keputusan politik.

"Berikutnya adalah kekerasan terhadap perempuan yang menyebabkan perempuan tidak dapat mengekspresikan kepentingan politiknya secara mandiri," ungkapnya.

Electoral Commissioner of India Anup Chandra Pandey mengakui, pemilih perempuan mengalami peningkatan di negaranya, pada 2019 terdapat 67,2 persen pemilih perempuan. Salah satu cara yang dilakukan dengan memberikan pendidikan pemilih.

"Untuk meningkatkan partisipasi, kami mulai dengan pendidikan untuk para pemilih dan menjelaskan pentingnya hak pilih mereka," ujarnya.

Selain itu, demi menarik pemilih perempuan di India juga terhadap TPS khusus berwarna pink. "TPS bewarna pink ini diselenggarakan di tps khusus di sana pejabatnya adalah para perempuan, jadi mereka menggunakan warna pink juga dan ada fasilitas khusus seperti penitipan anak," jelasnya.

Expert Consultant on Gender Equality and Women's Political Participation Roxana Silva menjelaskan, saat ini hanya 22 negara yang dipimpin oleh perempuan. Sebanyak 119 negara tidak pernah di kepalai oleh perempuan.

"Maka itu, kesetaraan gender masih memerlukan perjuangan," terangnya.

Dalam diskusi tersebut juga hadir sebagai panelis Mónica Aralí Soto Fregoso, Justice of the High Chamber of the Electoral Tribunal of the Federal Judiciary of Mexico (TEPJF), and President of GNEJ’s Observatory on Gender Equality. (rk/rls)