Kesalehan Pepohonan

Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin. (foto:gemapos/ist)
Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin. (foto:gemapos/ist)

Saya "stuck" pada cerita pohon. Rupanya kutipan saya tentang syair sedekah pohon Kyai Zawawi menghasilkan ragam respon tentang bagaimana banyak orang menyikapi pohon.

Kita mulai dari seorang teman, yang seakan sudah menjadi "aktifis hijau". Menurutnya, pohon itu lambang keberlangsungan hidup. Pohon itu membantu menghasilkan dan mensirkulasi oksigen. Pohon juga menyimpan air untuk kehidupan. Dua aspek ini yang membuat kita manusia, masih bertahan di Bumi. Tanpa keduanya, kita masih ada di bumi tapi di lapisan bawahnya atau mati.

Pengakuan teman lainnya bahwa dia memanfaatkan setiap ulang tahun anaknya sebagai momentum untuk menanam pohon. Uang jajan anaknya ditabung untuk membeli bibit pohon, termasuk manggrove. Dia meyakinkan anaknya, meskipun tidak lagi melihat pohonnya, pasti akan membantu kehidupan ini termasuk dirinya dengan udara yang dihirupnya. Bukankah kehidupan ini kita disebut sebagai 'global village"? Demikian doktrin pohon yang dilancarkannya pada anaknya.

Pohon itu lambang kebermanfaatan. Kita mengambil contoh dari respons seorang teman tentang bagaimana belajar dari pohon pisang. Semua bagian pohonnya bermanfaat bagi manusia dan makhluk hidup lainnya. Untuk menjadi kue yang dibungkus, pisang bahkan tidak memerlukan pohon lain untuk membungkus dirinya. Yang dimaksud oleh teman ini adalah Kue Barongko yang legendaris itu. Pisang bahkan rela mengorbankan semua tentang dirinya untuk memberikan nutrisi dan penghidupan pada manusia, makhluk lain, dan alam semesta.

Pohon itu simbol pertautan jiwa, kata teman lainnya. Setiap kali dirinya menyiram pohon yang diberikan oleh seseorang, dia selalu mengingat jasa baik orang itu lalu dia mendoakannya. Bahkan ketika pohon itu tumbuh cantik atau berbuah, wajah orang yang menyedekahkan itu seakan selalu hadir di antara dedaunan dan ranting pohon itu.

Pohon itu adalah proses kehidupan itu sendiri. Saat ingin membangun karakter seorang anak, beri dia bibit pohon untuk dia tanam, pelihara, siram, sampai pohon itu mampu tumbuh secara mandiri. Seperti apa pohon itu tumbuh, seperti itulah karakter dirinya.

Itulah, respons seorang pembaca sungguh menusuk. Ketika saya berani bicara menanam pohon, artinya berani untuk melakukan gerakan menanam pohon. Dia menantang gerakan sedekah bibit pohon kepada para mahasiswa, khususnya mahasiswa baru. Lalu mereka diminta mempertanggungjawabkan pertumbuhan setiap bibit sebelum mereka menerima ijazah. Artinya mereka memperoleh kesarjanaan karena mereka telah membesarkan sebuah pohon. Sebuah tantangan mulia yang harus saya disikapi.

Menanam dan membesarkan biji atau benih pohon identik dengan menyiraminya. Menyiram itu proses. Dari proses itu tumbuh karakter; kesabaran, kedisiplinan, atau ketekunan. Saya mengakhiri masalah biji pohon dengan sebuah cerita. Saya tidak menyebutnya lelucon, takut anda tertawa sebelum membacanya.

Seorang laki-laki datang ke dokter THT karena telinganya kemasukan biji kacang hijau yang sulit dikeluarkan. Setelah diperiksa oleh dokter, ternyata biji kacang hijau itu sulit untuk dikeluarkan dan harus dilakukan operasi kecil. Laki-laki itu menanyakan ongkosnya dan dokter menjawab, sekitar 2 juta. Laki-laki itu protes karena kemahalan. Lalu dia bertanya adakah cara yang lebih murah. Dokter mengatakan, ada cara yang lebih murah bahkan gratis tapi harus sabar. Cukup disiram saja telinganya dua kali sehari, kalau sudah tumbuh jadi toge tinggal di tarik keluar. 

Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin