Anomali Demokrasi Pasca Globalisasi

FX. Adji Samekto, Guru Besar Universitas Dipenogoro Semarang
FX. Adji Samekto, Guru Besar Universitas Dipenogoro Semarang

Gemapos.ID (Jakarta) - Era globalisasi menunjuk pada era ketika hubungan-hubungan antarnegara menjadi lebih cair berhubung telah berakhirnya Perang Dingin pada 1989. Perang Dingin, sebagaimana diketahui, merupakan bentuk konflik antara kelompok negara Blok Barat yang menganut paham kapitalisme dalam politik-ekonominya dan kelompok negara Blok Timur, yang menganut paham komunisme dalam politik-ekonominya.

Di dalam realitasnya kemudian Uni Soviet, sebagai negara penopang utama Blok Timur, akhirnya secara resmi dibubarkan pada 25 Desember 1991. Bubarnya Uni Soviet mengakibatkan kembalinya kedaulatan masing-masing dari 15 negara yang pada masa lalu pernah digabungkan dalam satu satu uni, yaitu Rusia, Ukraina, Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kirgistan, Latvia, Lituania, Moldova, Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Bubarnya Uni Soviet disebabkan terutama persoalan krisis penyelenggaraan ekonomi internal yang sangat akut sehingga menyebabkan lepasnya kendali pemerintah pusat terhadap sistem ekonominya.

Di sisi lain, secara politik, kemajuan teknologi komunikasi dunia pada masa itu (1989- 1990) tidak dapat lagi dikendalikan oleh Pemerintah Uni Soviet. Isu demokrasi, penghormatan hak asasi manusia, tuntutan keterbukaan dalam penyelenggaraan negara, tuntutan minimalisasi peran negara atas kehidupan rakyatnya menjadi sesuatu yang selalu disuarakan negara-negara Barat telah menginspirasi masyarakat di Uni Soviet untuk melakukan tuntutan-tuntutan pada saat Pemerintah Uni Soviet mulai kehilangan kendalinya atas penyelenggaraan ekonomi internalnya.

Bukan hanya Uni Soviet yang akhirnya harus berubah untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan tuntutan akibat kemajuan teknologi komunikasi itu. Negara-negara lain pun terkena imbasnya, seperti di Indonesia, di mana tuntutan-tuntutan itu mendorong terjadi reformasi pada 1998.

Menjelang tahun 1990, masyarakat dunia mulai memahami bahwa pemicu utama proses-proses yang akhirnya dikenal sebagai globalisasi adalah semakin kuatnya dorongan ekspansi kapitalisme untuk mendominasi sistem ekonomi dunia, yang pada gilirannya akan semakin meningkatkan kekuatan ekonomi negara-negara Barat. Oleh karena itu, paham kapitalisme dengan ekonomi pasar bebasnya harus diterimakan sebagai kebenaran tunggal oleh negara-negara Barat kepada negara-negara lain. Kemajuan teknologi komunikasi masyarakat dunia melalui jaringan internet semakin mengakselerasi percepatan penerimaan paham kapitalisme tersebut di masyarakat dunia.

Menjelang tahun 1990, masyarakat dunia mulai memahami bahwa pemicu utama proses-proses yang akhirnya dikenal sebagai globalisasi adalah semakin kuatnya dorongan ekspansi kapitalisme untuk mendominasi sistem ekonomi dunia.

Di dalam sejarahnya, ekonomi pasar bebas sebagai implikasi paham kapitalisme bersumber dari filsafat individualisme yang sejak abad ke-17 mulai dirintis ajarannya secara dialektik oleh para penganut filsafat empirisme, seperti John Locke, Adam Smith, Montesquieu, Rousseau.

Di dalam studi-studi beraliran kritis, terdapat kesimpulan sesungguhnya terdapat hubungan yang saling tidak terpisahkan dan fungsi saling menopang antara demokrasisistem hukum modern dan keberlakuan pasar bebas. Bahwa pasar bebas akan berjalan baik dan memberikan kesejahteraan apabila keberlakuan dijamin kepastiannya berdasarkan hukum yang dibuat berdasarkan kesepakatan bersama.

Secara kebudayaan, pada era pasca globalisasi, upaya penerimaan kebenaran kapitalisme dan pasar bebas dilakukan dengan membangkitkan pandangan-pandangan tentang betapa pentingnya kebebasan individu, pentingnya keamanan individu, penekanan tentang penghormatan hak asasi manusia, pentingnya pembatasan kekuasaan negara atas kehidupan rakyatnya, pentingnya privatisasi, dan pandanganpandangan yang pada masa lalu pernah digagas oleh filosof-filosof terkemuka abad ke17 sampai ke-18, seperti John Locke, Adam Smith, JJ Rousseau, dan Hegel. Penerimaan secara kebudayaan ini makin dilengkapi dengan hasil-hasil penelitian oleh pakar terkemuka dunia yang dengan mudah diakses oleh masyarakat dunia.

Penerimaan secara kebudayaan ini pada gilirannya mendorong kalangan tertentu untuk mengubah prinsip-prinsip hukum yang sebelumnya telah disepakati dalam hukum dasar tertinggi di suatu negara. Nilai-nilai yang sudah ditanamkan pendiri suatu bangsa pada masanya, seolah-olah menjadi salah, dan tidak mampu menjawab tantangan global, dan karena itu perlu dirombak.

Timbullah kemudian perpecahan antara pihak yang pro dan pihak yang kontra perombakan, yang berpotensi melemahkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika konflik itu memuncak, tidak tertutup kemungkinan datangnya campur tangan asing dengan berbagai dalih, yang akhirnya justru semakin membuat keadaan negara menjadi tidak menentu.

Pengalaman fenomena The Arab Spring menjadi contoh relevan. The Arab Spring merupakan gelombang revolusi yang diwujudkan dalam gerakan protes yang terjadi di negara-negara Arab di sekitar tahun 2011-2012, dengan dalih untuk membangun demokrasi. Fenomena Arab Spring ini bagaikan pandemi yang bersumber di suatu negara, lalu menyebar ke negara lain, sehingga beberapa negara Arab masyarakatnya ikut melakukan pemberontakan dengan dalih tuntutan demokrasi.

Akan tetapi, sesudah Arab Spring berlalu, ada permasalahan yang sangat tragis, yaitu adanya keadaan yang oleh Francis Fukuyama disebut a lack of basic institutions, atau ketiadaan pemerintahan yang efektif. Akibatnya, di beberapa negara Arab timbul situasi chaos karena tidak ada jaminan keamanan dan perlindungan bagi penduduk karena ketiadaan negara sebagai institusi yang mempunyai monopoli kekuasaan sah atas rakyatnya. Fenomena Arab Spring pada tahun 2011 dapat menjadi contoh untuk menjelaskan proses-proses yang akhirnya melemahkan negara bangsa.

Refleksi

Fenomena yang terjadi sebagaimana diuraikan di atas memberikan pelajaran bahwa dalih menegakkan demokrasi telah menjadi modus oleh suatu negara yang ditujukan kepada negara, tetapi bukan demi demokrasi itu sendiri, melainkan untuk tujuan perebutan dominasi ekonomi, penguasaan sumber daya alam, dan perebutan pasar.

Pada tahun 1957 dan 1958, upaya menguasai Indonesia juga pernah dilakukan oleh kekuatan asing dengan cara membantu pemberontakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi sekalipun sesungguhnya pemberontakan itu sendiri tidak pernah dimaksud untuk menggulingkan pemerintahan yang sah semasa itu. Peristiwa berikutnya adalah upaya kekuatan asing untuk melemahkan pemerintahan Republik Rakyat Tiongkok (China) melalui dukungan terhadap gerakan-gerakan mahasiswa pada 1989, dengan dalih penegakan hak asasi manusia dan demokrasi.

Negara atau kelompok negara yang kuat, tetapi tidak memiliki sumber daya alam yang memadai, berupaya merebut atau menguasai ekonomi, sumber daya alam, atau pasar di wilayah kedaulatan negara lain.

Demikianlah, maka modus-modus seperti itu dilakukan suatu negara atau sekelompok negara demi kepentingan negara itu sendiri. Negara atau kelompok negara yang kuat, tetapi tidak memiliki sumber daya alam yang memadai, berupaya merebut atau menguasai ekonomi dan sumber daya alam atau pasar di wilayah kedaulatan negara lain. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan modus-modus seperti itu semakin tinggi intensitasnya mengingat semakin tinggi kebutuhan bahan pembangkit energi atau daya yang dibutuhkan untuk menjalankan peranti teknologi. Kebutuhan akan bahan nikel akan semakin tinggi karena bahan ini menjadi alternatif baru pengganti bahan bakar fosil, dan bahan-bahan itu banyak terkandung antara lain di Indonesia.

Strategi upaya perebutan dominasi ekonomi, penguasaan sumber daya alam dan perebutan pasar dilakukan sesuai dengan perkembangan hubungan-hubungan internasional di masa kini, dimana hubungan internasional tidak lagi dapat didefinisikan secara kaku terbatas hubungan antarnegara saja, tetapi sudah menjangkau pada hubungan antar-individu (man to man). Sesuai dengan itu, upaya penguasaan asing suatu negara terhadap negara lain kini dilakukan secara massif melalui budaya, sistem hukum, dan penerapan privatisasi untuk barang-barang publik, pengarusutamaan hak asasi manusia, serta tuntutan demokratisasi di segala bidang. Hal seperti ini yang diwaspadai.

Tidak ada yang menolak kebenaran demokrasi karena di dalam demokrasi dikandung nilai-nilai kesederajatan manusia, penghargaan hak asasi manusia dan keadilan. Universalitas demokrasi terletak pada prinsip dasarnya, yaitu pengakuan kesederajatan manusia, penghargaan hak asasi manusia, dan keadilan. Akan tetapi, mengartikulasikannya dalam ranah konkret, demokrasi harus dibangun sesuai dengan nilai-nilai yang dikukuhi masyarakat dan bangsa setempat.

FX. Adji Samekto, Guru Besar Universitas Dipenogoro Semarang