Mahasiswa Harus Peka Isu Kesetaraan Gender

Ilustrasi-kesetaraan gender. (ist)
Ilustrasi-kesetaraan gender. (ist)


Hari pempuan sedunia jatuh pada tanggal 8 Maret. Latar belakang perayaan hari perempuan sedunia berawal pada tahun 1908, sekitar 15.000 perempuan turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi di Amerika Serikat, lebih tepatnya di kota New York. Mereka menyuarakan hak perihal upah yang di bawah standar, dan jam kerja yang tidak sesuai.

Di dalam aksi demonstrasi tersebut, tidak sedikit buruh perempuan yang meninggal dunia. Sehingga, pada tahun 1910, Clara Zetkin (Pemimpin ‘Kantor Perempuan’) menggagas Hari Perempuan Indonesia ditetapkan dan dirayakan oleh setiap negara untuk mendukung aksi persamaan hak.

Melalui konferensi perempuan dari 17 negara yang beranggota 100 perempuan yang berpengaruh, perayaan hari perempuan sedunia disepakai pada 19 Maret 1911 dan dirayakan pertama kali di Austria, Jerman, Swiss, dan Denmark lalu, dilanjutkan dengan pergerakan perempuan di Rusia, melakukan aksi damai menentang Perang Dunia I pada 8 Maret 1913.

Saat perang Dunia II, 8 Maret juga dijadikan sebagai tanda momentum aksi kesetaraan Gender. Akhirnya, 8 maret diakui sebagai hari Perempuan Sedunia oleh Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB), dan bulan maret ditetapkan sebagai Bulan Sejaran Perempuan oleh Barak Obama (Mantan Presiden AS) pada tahun 2011.

Mahasiswa seharusnya menjunjung tinggi Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang menunutut mahasiswa tidak hanya menuntut ilmu, namu kita juga harus menerapkan ilmu tersebut di masyarakat. “Tanyakan pada diri kita, dari teori–teori yang kita dapatkan melalui perkuliahan, hal apa saja yang sudah kita lakukan?”

Saat ini laki–laki dan perempuan sama–sama memiliki akses dalam hal pendidikan. Namun, perempuan sering kali dihantui dengan narasi–narasi negatif seperti “Untuk apa sekolah tinggi–tinggi, nanti akan susah mendapatkan jodoh” atau “Sekolah tinggi–tinggi, ujung–ujungnya jadi ibu rumah tangga” atau “Pendidikan tinggi, namun tidak mampu mengurus anak”, sehingga narasi–narasi tersebut menimbulkan rasa pesimis perempuan dalam menempuh pendidikan setinggi–tingginya.

Seharusnya, pendidikan itu bisa diakses siapa saja, dan tidak memandang gender. Contohnya, perempuan Papua sangat dilematis dalam menempuh pendidikan, mereka ingin menempuh pendidikan setinggi–tingginya, namun di sisi lain mereka juga memiliki tanggungjawab menjaga alam yang dinilai sudah cukup dieksploitasi. Dan mereka secara kritis ingin melakukan gerakan penyadaran agar pempuan di Papua bersekolah, dilematisnya adalah ketika perempuan Papua meninggalkan kampung halamannya, siapa lagi yang nantinya akan menjaga alam di sana? Jika dihubungkan dengan Sumatera Utara, terdapat narasi tentang Roehana Koeddoes yang semakin masuk dalam ranah akademis.

Sebenarnya banyak tokoh perempuan sebagai Pejuang Emansipasi Wanita dan Pejuang Pendidikan khususnya di Indonesia, namun kita hanya mengenal nama–nama yang memang populer hingga saat ini, diantaranya Kartini, Dewi Sartika, dst.

Seluruh universitas melakukan Kesetaraan Gender dan Inklusi Sosial (GESI), artinya tidak hanya melakukan gerakan–gerakan yang mengajak mahasiswa untuk melakukan GESI, tetapi juga kebijakan Universitas yang berpihak pada GESI.

GESI itu bukan perihal kesetaraan Gender, namun juga perihal kelompok difabel. Terdapat mahasiswa dan dosen difabel diperlakukan setara di Indonesia. Komnas HAM dan Asosiasi sering mendapatkan laporan kasus–kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, baik itu mahasiswa, petugas, maupun dosen.
“Sekali lagi, dalam konsep feminis yang kita perangi adalah sistem patriarki. Bukan laki-laki.”

Opini oleh Dewi Susilawati