Kejahatan yang Keren dan Hukum Jalan Damai

Gambar ilustrasi. (sumber foto: pixabay)
Gambar ilustrasi. (sumber foto: pixabay)

Tiga hari lalu, menjelang keberangkatan ke Jakarta menggunakan pesawat Sriwijaya Air dengan penerbangan sore, aku menyempatkan mampir ke Pengadilah Negeri Denpasar.

Tidak ada agenda serius. Disana menemui seorang kawan lama yang sedang menghadiri sebuah persidangan hukum kenalannya. Aku menemuinya untuk berpamitan karena berencana meninggalkan Pulau Dewata untuk waktu yang tidak tau sampai kapan.

Dengan ditemani seorang sahabat yang sekaligus akan mengantarku ke Bandara I Gusti Ngurah Rai usai berpamitan, kami menungu kawan itu yang masih di dalam ruang sidang.

Saat berada di tempat menunggu, tepat berada di depan salah satu ruang sidang. Suasana sepi, tapi tiba-tiba sahabat yang duduk di samping melontarkan kata-kata yang sedikit menarik perhatianku.

“Aku kalau di tempat ini agak pesimis!” kata dia siangkat

Sontak pernyataan itu membuatku berfikir, hal apa yang mebuatnya pesimis di tempat yang mengadili pelaku pelanggar hukum itu. 

“Kenapa?” tanyaku singkat menyelidik alasan sang sahabat yang langsung disambut tatapan datarnya.  

“Gak tau, agak gak yakin aja dengan penegakan hukum. Gak bener-bener murni,” jawab sang kawan sambal tersenyum sarkas.

Kami memang sering berdiskusi singkat dengan berbagai hal. Mengisi waktu kebersamaan, ngobrol apa saja. Kabar angin, hal terbaru, bahkan yang menurut kami berat, tak luput dari perbincangan. 

Karena sudah sering bertukar fikiran, dari jawaban itu aku sudah paham apa yang dia maksud dengan ‘gak yakin’ dan ‘gak benar-benar murni’.

Bukan menjadi rahasia lagi, berbagai kasus justru mengungkap penegak hukum menjadi terpidana gegara menyalahgunakan kekuasaannya. Kong kalikong, bahkan menerima suap.

Selang beberapa saat, tiba-tiba muncul di benakku untuk usil menanyakan pendapatnya tentang perilaku kejahatan.

“Menurutmu, ada gak kejahatan yang keren?,” celetukku yang membuyarkan konsentrasinya saat sedang memandang telpon pintarnya.

Tampak dia berfikir sebelum menjawab pertanyaan itu. Dalam perhitunganku, hampir satu menit kemudian dia akhirnya membuka suara.

“Zoro, pernah liat film Zoro kan. Kayaknya itu kejahatan yang keren,” jawabnya dengan yakin bahwa adegan kejahatan yang diperankan dalam film Zoro sebagai hal yang keren menurutnya.

“Jadi kan dia maling tu, tapi di bagiin hasil jarahannya kepada masyarakat miskin, yang membutuhkan. Yang dia malingin juga pejabat-pejabat korup, yang gak peduli sama penderitaan masyarakat,” sambungnya lagi.

Sang sahabat menggambarkan perilaku Zoro sebagai sang penolong bagi rakyat saat dalam kondisi kesusahan dan tidak dihiraukan oleh pemimpinnya.

Mendengar itu, aku langsung manggut-manggut dan mengerti alur pemikiran sang sahabat. 

Selesai menjawab, dia lantas menayakan pertanyaan yang sama itu kepadaku.

“Hemm,” aku berfikir sejenak. Aku sudah hafal betul proses obrolan kita yang selalu saling tanya jawab itu.

Aku langsung teringat, beberapa hari lalu, aku melihat terusan unggahan video tiktok dari Kejaksaan Agung RI @/kejaksaan.ri oleh warganet. 

Dalam video itu, menampilkan Jaksa Agung ST Burhanuddin memberikan pengampunan melalui restorative justice kepada Agus Mustofa, seorang pencuri sepeda motor majikannya.

Restorative justice atau keadilan restoratif adalah suatu tanggapan kepada pelaku kejahatan untuk memulihkan kerugian dan memudahkan perdamaian antara para pihak.

Secara prinsip restorative justice merupakan alternatif penyelesaian perkara tindak pidana, yang dalam mekanisme (tata cara peradilan pidana) fokus pidana diubah menjadi proses dialog dan mediasi.

“Ada seorang anak, yang dia mencuri untuk memenuhi kebutuhan hidup ibunya. Saya fikir mereka orang yang tidak mampu, dan terpaksa mencuri untuk tetap hidup,” kataku sambil mengenang isi video singkat itu.

“Aku tidak membenarkan prilaku pencurian, tapi sang anak ini ku fikir keren, karena melakukan apa saja untuk ibunya yang sedang kesusahan. Melihat kondisi itu, sang korban akhirnya memaafkan dan mencabut tuntutannya di pengadilan,” sambungku menjelaskan. 

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan September 2021 sebanyak 26,50 juta orang atau 9,71% dari total penduduk Indonesia.

Menurut G.W Bawengan dalam bukunya ‘masalah kejahatan dengan sebab dan akibat’ (1997), masalah ekonomi menjadi salah satu faktor penyabab terjadinya perilaku kriminal.

Disebutkan, apabila seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini yang dapat mendorong terjadinya kejahatan.

“Kalau gitu, gak bisa juga kita menyalahkan sepenuhnya si anak dong. Harusnya ini kan tanggungjawab pemerintah yang diamanatkan dalam kosntitusi untuk mensejahterakan rakyat,” sahabat menyahut penjelasanku.

“Iya,” jawabku singkat. “Ini juga hampir sama dengan Zoro. Bedanya dia dibagikan untuk kebutuhan masyarakat, kalau ini untuk sang ibu,” terangku.

“Iya, itu keren sih,” kata sahabat sambil menganguk-anggukan kepalanya yang menandakan sependapat dengan pemikiranku.

Kejaksaan Agung saat ini memberikan perhatiaannya dalam penanganan hukum dengan mengedepankan restorastive justice melalui Peraturan Jaksa Agung No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Restorative justice tersebut menjadi dasar bagi Jaksa untuk melakukan penutupan perkara karena telah adanya penyelesaian perkara di luar pengadilan.

Pemberian restorative justice kepada Agus dibacakan oleh Kepala Kejari Cimahi, Rosalina Sidabariba di kantor Kejati Jabar Kota Bandung, Selasa (25/1/2022) setelah melalui proses dialog dan mediasi yang membebaskannya dari segala tuntutan.

Dengan keadilan restoratif, memungkinkan penegakan hukum menempuh jalan damai bagi perkara kasus kejahatan yang masih dalam kategori 'bisa termaafkan'. Pola tersebut juga banyak mendapat apresiasi dari kalangan masyarakat.  

Teranyar, Jaksa Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) juga menyetujui 11 (sebelas) permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Situasi ini memberikan signal bagi penegakan hukum yang lebih humanis dan menciptakan putusan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku.

Singkat cerita, kawan lama akhirnya mendatangi kami. Aku berpamitan sebentar lalu melanjutkan perjalanan ke Bandara untuk menuju Jakarta pukul 17.45 wita. Percakapan singkat tentang "kejahatan keren" jadi penutup perjalanan kali ini.

Sampai jumpa lagi Bali. Semoga kedatanganku lagi nanti, pandangan sang sahabat sudah berubah tentang penanganan hukum di Indonesia dengan restorative justice-nya.