THR, Cerita Kebahagiaan Yang Tidak Merata

ilustrasi (gemapos)
ilustrasi (gemapos)

Pemberian Tunjangan Hari Raya keagamaan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh. Juga dari pemerintah kepada aparatur sipil negara. THR wajib dibayarkan secara penuh dan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 6 Tahun 2016 wajib dibayarkan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan.

 

Menerima THR dan zakat fitrah merupakan bentuk kebahagiaan karena mendapatkan dana tambahan di saat pengeluaran selama bulan Ramadhan hingga Lebaran meningkat.

Berdasarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan 2024 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan, THR diberikan kepada pekerja/buruh yang telah mempunyai masa tugas satu bulan secara terus menerus atau lebih, baik pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), juga pekerja/buruh harian lepas yang memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundang-undangan.

Bagi aparatur sipil negara, pemerintah tahun ini mencairkan THR secara penuh dengan anggaran dana sebesar Rp 48,7 triliun. Selain bagi ASN, THR juga diberikan kepada pensiunan, penerima pensiun, dan penerima tunjangan, termasuk TNI dan Polri. Bagi kelompok ini, THR diberikan paling cepat sepuluh hari sebelum hari raya Idul Fitri atau dapat dibayarkan setelah Idul Fitri.

Adapun bagi pekerja swasta, THR diberikan sebesar satu bulan upah bagi pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus-menerus atau lebih. Sementara bagi pekerja/buruh dengan masa kerja satu bulan secara terus-menerus tetapi kurang dari 12 bulan, diberikan THR secara proporsional sesuai dengan perhitungan masa kerja bulan dibagi 12 bulan dikali satu bulan upah.

Meski telah diatur dan diantisipasi sedemikian rupa, THR tidak serta-merta menjadi kebahagiaan bagi semua pekerja. Dari tahun ke tahun, terdapat sejumlah pekerja/buruh yang terkendala mendapatkan THR.

Problem yang sering muncul yang dialami pekerja mulai dari THR dibayar dengan cara dicicil, THR diberikan dalam bentuk produk, nilai THR yang rendah atau tidak sesuai ketentuan, THR terlambat dibayarkan, hingga THR yang tidak dibayar. Pernah juga terjadi THR tidak dibayarkan sama sekali karena perusahaan terdampak pandemi Covid-19.

Problem yang sering muncul dan diadukan pekerja ini merupakan bentuk pengabaian oleh perusahaan. Jumlah kasus yang diadukan pekerja ini cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Berdasarkan hasil riset Litban Kompas, pada tahun 2021, misalnya, terdapat 1.150 kasus pelanggaran THR yang diadukan pekerja. Pada tahun 2022 jumlahnya meningkat menjadi 2.935 kasus pelanggaran dan pada tahun 2023 tercatat 2.369 kasus yang dilaporkan pekerja.

Kasus-kasus ini umumnya terjadi di banyak provinsi dan dalam penyelesaiannya diserahkan Kemenaker kepada gubernur. Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur termasuk yang memiliki cukup banyak laporan pelanggaran THR.

Banyaknya kasus pengabaian THR ini karena tidak semua perusahaan memiliki serikat pekerja yang menjadi tumpuan pekerja dan tidak semua pekerja/buruh berani melapor dengan berbagai pertimbangan.

Ditambah lagi sering terjadi tidak ada perubahan nasib atau perbaikan meski pihak kementerian telah menemui manajemen perusahaan untuk memfasilitasi. Pun tidak semua kasus yang dilaporkan dapat direspons dengan cepat. Adakalanya respons penyelesaian membutuhkan waktu yang lama.

Sanksi terhadap pelanggaran THR sebenarnya juga diberlakukan oleh Kemenaker terhadap perusahaan. Sanksi tersebut antara lain berupa teguran tertulis, pembatasan kegiatan usaha, penghentian sementara secara sebagian atau seluruh alat produksi, hingga pembekuan kegiatan usaha.

Akan tetapi kasus pengabaian atau pelanggaraan terus berulang karena banyak faktor. Bagi perusahaan sendiri, kesulitan finansial menjadi alasan tidak dapat memberikan THR. Kondisi ini sedikit banyak dipengaruhi oleh situasi ekonomi nasional dan global yang tidak menentu, meski kebenaran soal ini memerlukan pengecekan dan verifikasi terhadap laporan keuangan perusahaan.

Akhirnya tidak semua cerita THR membawa kebahagiaan, meskipun pada hakikatnya THR bertujuan untuk menambah kebahagiaan saat merayakan hari besar keagamaan. Pemerintah harus serius membenahi sistem pengawasan pembayaran THR ini. Juga menindak perusahaan yang sengaja abai dengan kewajibannya agar berkah di bulan Ramadhan bisa terdistribusi merata.