JKN Diminta Tidak Tanggung Penyakit Katastropik

KPK
KPK
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merekomendasikan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk membatasi pemberian manfaat bagi pasien-pasien penyakit katastropik. Penyakit yang dimaksud adalah penyakit yang disebabkan gaya hidup tidak sehat yakni jantung, diabetes, kanker, stroke, dan gagal ginjal. “Klaim untuk penyakit katastropik pada 2018 adalah 30% dari total klaim BPJS Kesehatan atau setara Rp28 triliun,” kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan di Jakarta pada Jumat (13/3/2020). Penyakit katastropik menyerang sebagian besar masyarakat kelompok menengah ke atas. Hal ini membuat tidak adil bagi kalangan bawah. KPK juga mendorong implementasi Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 51 Tahun 2018 tentang sistem co-payment bagi peserta BPJS Kesehatan. Aturan ini menyebutkan peserta BPJS Kesehatan Kelas I dan Kelas II harus membayar 10% biaya yang diklaim BPJS Kesehatan. Dari pelaksanaan ini BPJS Kesehatan akan memperoleh Rp2,2 triliun. Dana ini dapat dibayarkan bagi klaim senilai Rp22 triliun pada 2018. Kemenkes juga diminta menyusun Pedoman Nasional Praktik Kedokteran secara cepat. Hal ini untuk mencegah unnecessary treatment yang dapat meningkatkan pengeluaran. Selain itu dihimbau mengakselerasi Coordination of Benefit (CoB) dengan asuransi kesehatan swasta. Tidak ketinggalan mengevaluasi penetapan kelas rumah sakit dan menindaklanjuti verifikasi lapangan untuk mengatasi fraud. Apabila berbagai rekomendasi tadi dijalankan Kemenkes, maka BPJS Kesehatan dapat menghemat pengeluaran mencapai Rp12,2 triliun tanpa harus menaikkan iuran. Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menambhkan sebanyak tiga faktor yang menyebabkan defisit BPJS Kesehatan dari sisi efisiensi pengeluaran. Hal itu adalah tunggakan iuran tinggi akibat para peserta mandiri tak punya itikad baik dalam mengikuti program BPJS Kesehatan. Kemudian, kelas rumah sakit sudah tidak sesuai akibat over payment dan praktik fraud di lapangan. Selanjutnya, praktik up coding yaitu menaikkan status penyakit\, sehingga pengeluaran lebih besar dari pengeluaran dan praktik phantom billing dan unbilling. “Solusi menaikkan iuran BPJS bukan solusi sebelum sistem pelayanan di BPJS Kesehatan diverifikasi secara benar dari peserta, rumah sakit, maupun kategorisasi dari penyakit tersebut," jelasnya. (mam)