BRIN: Smart Farming Solusi Pertanian Lahan Terbatas

Ilustrasi - penelitian tanaman. (foto:gemapos/BRIN)
Ilustrasi - penelitian tanaman. (foto:gemapos/BRIN)

Gemapos.ID (Jakarta) - Semakin menurunnya ketersediaan lahan produktif tidak berbanding lurus dengan kebutuhan produk pertanian yang terus bertambah. 

Smart farming yang disebut juga dengan pertanian cerdas merupakan penerapan teknologi informasi dan komunikasi seperti sensor, Internet of Things (IoT), big data analytics, robotika, dan kecerdasan buatan (AI) dalam proses pertanian yang mampu meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan keberlanjutan.

Berikut disampaikan Haryo Prastono, Perekaya Ahli Pertama, Pusat Riset Hortikultura BRIN dalam webinar HortiActive #1 dengan tema “Prospek dan Strategi Pengembangan Smart Farming untuk Meningkatkan Efisiensi Produksi Hortikultura Secara Berkelanjutan,” pada Selasa (27/2).

“Smart Farming adalah konsep pertanian berbasis pada precision agriculture yang memanfatkan otomatisasi teknologi, didukung oleh manajemen big data, kecerdasan buatan, dan IoT, demi meningkatkan kuantitas maupun kualitas produksi, dalam rangka mengoptimalkan sumberdaya lahan, teknologi budidaya, SDM,dan sumberdaya produksi yang lain,” terang Haryoto seperti dikutip gemapos dalam siaran resmi BRIN, Kamis (29/2/2024).

Haryo menyebutkan bahwa smart farming diperlukan karena lahan pertanian terbatas dan kebutuhan produk pertanian semakin meningkat dengan kualitas yang tinggi.

Kemudian dalam acara yang sama, Peneliti Ahli Pertama, Pusat Riset Hortikultura, Mathias Prathama juga memaparkan mengenai hasil penelitinya terkait implementasi smart fertigation untuk peningkatan efisiensi produksi bawang merah. Menurutnya, air merupakan kebutuhan utama dalam budidaya tanaman terutama tanaman sayur. Indonesia sendiri memiliki banyak lahan kering dan sampai saat ini masih banyak belum termanfaatkan karena ketersedian air yang terbatas. 

Lahan kering yang telah dimanfaatkan saat ini pun penggunaan airnya masih belum efisien sehingga hal tersebut menjadi persoalan utama yang dihadapi hingga saat ini. Keterbatasan ketersediaan air tanah, lahan subur dan degradasi kesuburan tanah tersebut terjadi karena dampak perubahan iklim.

“Untuk itu kami menawarkan strategi adaptasi yang berupa penerapan pertanian presisi (Precision Agriculture) yang salah satunya menerapkan fertigasi menggunakan irigasi mikro/tetes” kata Mathias. 

Mathias juga menjelaskan bahwa fertigasi merupakan aplikasi pemupukan yang dilakukan bersamaan dengan aplikasi irigasi yang memiliki keunggulan sebagai sistem yang sangat efisien hara dan efisien penggunaan air. Dalam penerapannya irigasi presisi memanfaatkan data perubahan iklim dari Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) ataupun menggunakan Automatic Weather Station (AWS), khususnya data evaporasi/ evapotraspirasi. 

Setelah mendapatkan informasi mengenai data evaporasi/evapotranspirasi, langkah selanjutnya adalah mengadaptasi teknologi-teknologi pertanian maju, seperti: irigasi otomatis, sensor kelembaban tanah/udara otomatis, sensor hujan, sensor hara dan sensor yang lainnya. Langkah terakhir dan merupakan langkah kunci adalah mengimplementasikan data perubahan iklim tersebut pada teknologi-teknologi maju sehingga  fertigasi  yang presisi bagi tanaman dapat terlaksana dan pertanian presisi dapat terwujud. 

Sementara itu pembicara dari akademisi yaitu Netti Tinaprilla, Dosen Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB memnyampaikan bahwa pesatnya penduduk akan berdampak pada demand pangan, sulitnya regenerasi petani, dan keterbatasan lahan sehingga mengharuskan penggunaan teknologi yang semakin tinggi. Teknologi smart farming saat ini tengah digaungkan oleh pemerintah karena mengarah ke pertanian 4.0 yang disinyalir dapat meningkatkan produktivitas juga kualitas. 

“Penerapan smart farming dapat memberikan efisiensi biaya, waktu proses produksi, dan beberapa riset juga menyimpulkan bahwa smart farming itu bisa meningkatan pendapatan serta peningkatan produksi dapat meningkat 20%, menurunkan penggunaan air sebesar 30%, mengurangi penggunaan tenaga kerja manusia sebanyak 50%, mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida sebanyak 10% dan sebagainya berdasarkan review study, rinci Netti. 

Sedangkan dari hasil penelitiannya pada usaha tani cabai peran smart fertigasi  dapat meningkatkan produktivtas dari 8.35 ton/ha menjadi 20.67 ton/ha, sehingga menghasilkan revenue lebih tinggi (Rp 276 569 493/ha) dibanding non fertigasi (Rp 200 705 229/ha), keuntungan yang lebih tinggi (Rp 211 065 361/ha) dibanding non fertigasi (Rp 112 584 859/ha), serta efisiensi yang lebih tinggi (nilai R/C sebesar 4.22 dibanding non fertigasi R/C = 2.28). Tingginya keuntungan ini juga didukung oleh penghematan pupuk, tenaga kerja, air, serta efisiensi waktu.

Namun demikian, smart fertigasi ini membutuhkan biaya invesatasi yang agak mahal, sehingga dari hasil penelitian lebih diarahkan kepada petani secara kelompok dengan lahan openfiled yang lebih luas, dibarengi dengan dukungan akses permodalan dan sarana produksi, serta harga jual yang wajar. 

Kemudian Netti juga menyampaikan dari penelitiannya pada usahatani cabai bahwa petani yang mengadopsi smart fertigasi cenderung mereka yang relatif muda, berpendidikan, berlahan luas, dan fokus dalam berusahatani. Untuk itu dalam program smart fertigasi diperlukan edukasi, promosi dan sosialisasi kepada sasaran yang tepat yaitu petani milenial yang memiliki pendidikan dan motivasi tinggi sehingga dapat meyakinkan mereka bahwa smart fertigasi sangat berperan dalam penghematan sumberdaya, peningkatan produktivitas, efisiensi dan keuntungan.

Semoga dengan terus berkembangnya teknologi smart farming diharapkan dapat menjadi solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan dalam memenuhi kebutuhan pangan global di masa depan. Sehingga dapat menghasilkan produktivitas yang tinggi, efisiensi tinggi dan juga profit yang lebih tinggi lagi. (rk/*)