Gincu Politik: Manis dan Menghanyutkan

Sekjend Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, Teddy Chrisprimanata Putra. (gemapos)
Sekjend Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia, Teddy Chrisprimanata Putra. (gemapos)

Masa kampanye adalah masa buat seluruh peserta pemilu untuk memperkenalkan diri kepada pemilih dengan tujuan mengajak pemilik hak pilih untuk mencoblos nama mereka di surat suara pada Rabu, 14 Februari 2024 mendatang. Cara yang digunakan pun beragam, ada yang blusukan—mengetuk satu-satu pintu rumah masyarakat, ada yang membuat acara di pusat desa, pasang alat peraga kampanye (APK) di lokasi-lokasi strategis—banyak yang ngasal juga sih, Hehe. Sampai ada yang bagi-bagi bingkisan—juga masih banyak yang bagi-bagi amplop. Semua dilakukan demi duduk di kursi kekuasaan.

Kalau masuk ke masa kampanye seperti sekarang ini, saya jadi teringat salah satu quotes dari Seth Godin yang kemudian dipopulerkan oleh Pandji Pragiwaksono, “sedikit lebih beda, lebih baik daripada sedikit lebih baik”. Saya rasa itu sangat relevan diaplikasikan oleh peserta pemilu, karena untuk dikenal rakyat memang harus berbeda dari kebiasaan umum. Jadi wajar ketika kita melihat gambar-gambar peserta pemilu yang agak nyeleneh, tapi secara tidak langsung mudah diingat. Kalau sudah begitu, peserta pemilu akan lebih mudah untuk masuk ke fase berikutnya.

Gimik Adalah Kunci

Karena berbeda adalah kunci penting untuk masuk ke hati dan pikiran pemilih, maka wajar saja kalau calon pemimpin bangsa menggunakan hal-hal yang sedang ramai di masyarakat—itulah yang disebut gimik. Kalau merujuk KBBI, gimik sendiri memiliki maksud gerak-gerik tipu daya aktor untuk mengelabui lawan peran. Ada lagi yang meyebutkan kalau gimik adalah adegan kreatif yang diciptakan guna menarik perhatian audiens apabila tayangan pada program tersebut sudah terlihat membosankan. Jadi kalau bisa saya simpulkan, semoga kalian memiliki pandangan yang sama, Hehe—satu langkah atau strategi kreatif yang dilakukan untuk menarik perhatian audiens dan hal yang ditampilkan bukanlah sesuatu hal yang sebenarnya.

Dalam rangka menggaet perhatian pemilih demi meraup suara sebanyak-banyaknya, tentu gimik menjadi satu hal penting yang mesti dilakukan oleh peserta pemilu. Ketiga pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) yang siap merebutkan kursi RI 1 dan 2 pun melakukan hal yang serupa. Misalnya pasangan Anies-Muhaimin yang muncul dengan video Slepet Imin yang memperlihatkan bagaimana Cak Imin tertawa sangat lepas setelah berhasil memberikan slepetan menggunakan sarungnya ke Anies Baswedan. Juga ada remake video Men In Black 3 yang memperlihatkan Anies dan Cak Imin kompak menggunakan setelah putih hitam yang diikuti dengan kalimat “lupakan yang lain, pilih Amin”.

Beda paslon, tentu beda cara. Pasangan Prabowo-Gibran kini lebih dikenal dengan pasangan yang gemoy, hal ini juga didukung dengan Prabowo yang lebih suka joget tinimbang menjelaskan pemikirannya sebagai pemimpin, juga Gibran yang lebih memilih diam dibandingkan harus menjawab pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Gambar diri dari paslon ini yang dihasilkan teknologi Artificial Intelligence (AI) pun ramai terpampang di pinggir jalan dalam bentuk Billboard, Baliho, hingga spanduk. Tidak hanya di ruang-ruang nyata, konten-konten pasangan calon ini pun ramai di ruang-ruang maya—bahkan joget Prabowo pun hits dan semakin populer karena banyak figur dan pesohor ikut tren yang dibuat Prabowo seusai mengambil nomor urut di KPU. Saya pikir ini adalah salah satu faktor penyebab hasil survei pasangan calon Prabowo-Gibran selalu teratas meninggalkan dua pasangan calon lainnya.

Kalau dua pasangan calon sebelumnya mencoba mengemas diri lebih santai dan tampak ramah di mata publik, berbeda dengan pasangan calon Ganjar-Mahfud. Sepanjang memantau akun sosial media Ganjar dan Mahfud, saya cenderung menemukan konten-konten yang cukup serius—soal aspirasi yang diserap selama turun ke daerah-daerah, kemudian hal-hal apa saja yang akan dilakukan apabila terpilih sebagai presiden dan wakil presiden, juga pernyataan-pernyataan tentang dinamika politik bangsa terkini. Agak kurang memang, bahkan gimik baju yang dipakai saat debat pun menurut saya kurang mampu menggaet keterlibatan pemilih, berbeda dengan apa yang sudah dilakukan oleh dua pasangan calon sebelumnya.

Gimik Bukanlah Inti

Pada akhirnya yang akan dikerjakan oleh presiden dan wakil presiden terpilih bukanlah gimik belaka. Kerja-kerja kolektif nan serius demi keberlangsungan bangsa di depan mata, tidak bisa diselesaikan dengan gimik-gimik sesaat. Kedaulatan pangan tidak bisa diselesaikan dengan Slepet Imin, persoalan geopolitik tidak bisa dituntaskan dengan hanya sekadar joget-joget gemoy di depan kamera, termasuk juga masalah kelangkaan pupuk bagi para petani tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan membagikan baju yang bertuliskan “sat set” dan “tas tes”. Saya nggak salah kan? Hehe.

Gimik menjadi penting tatkala perkembangan politik dalam negeri memanas akibat persaingan peserta pemilu. Gimik diperlukan untuk meredakan ketegangan, tidak hanya di kalangan elit, tetapi yang paling utama adalah di kalangan akar rumput. Sama halnya seperti acara hiburan di layar kaca, gimik digunakan untuk menyegarkan format acara yang terkesan monoton, juga bisa memberi efek kejut yang menyenangkan. Tapi dari sekian banyak manfaat gimik, juga tersimpan bahaya di dalamnya. Terhanyut ke sebuah gimik politik dengan konsekuensi kekuasaan jatuh ke tangan yang salah tentu menjadi kerugian besar bagi negara yang dampaknya dapat dirasakan langsung oleh rakyat. Oleh karenanya, nikmati gimik secukupnya—dalami substansi gagasan sedalam-dalamnya, setelah itu baru tentukan pilihan. Ada yang tidak sependapat?

Teddy Chirsprimanata Putra, Sekretaris Jenderal PP KMHDI