Kuasa Partai Dalam Jabatan Publik

Ilustrasi-masyarakat melintas di jalan yang dipenuhi bendera partai peserta pemilu. (foto:gemapos/ant)
Ilustrasi-masyarakat melintas di jalan yang dipenuhi bendera partai peserta pemilu. (foto:gemapos/ant)

Belakangan ini, penulis merasa khawatir terhadap situasi berbangsa dan bernegara saat ini. Hal tersebut terjadi oleh sebuah fenomena dominasi partai politik yang tanpa batas dapat mengintervensi jabatan-jabatan publik dalam setiap ruang dan geraknya. Kita sulit membedakan apakah setiap sikap yang dikeluarkan oleh pejabat publik adalah sikap partai ataupun sebagai sikap individu berdasarkan jabatan publik tersebut.

Kita ambil contoh sederhana, misalnya terdapat sebuah Menteri yang kemudian ia juga merupakan kader atau bahkan ketua umum partai politik. Siapa yang akan dapat menjamin bahwa setiap ruang dan geraknya adalah representasi kepentingan publik? Sama halnya dengan setiap anggota DPR dalam memutuskan sesuatu di sanayan. Siapa yang bisa menjamin bahwa setiap keputusan yang diambil merupakan representasi dari kepentingan publik? Sedangkan dalam setiap pengambilan keputusan, padangan fraksi menjadi bagian yang penting dalam keputusan tersebut.

Lebih parah lagi Ketika ada Menteri yang kemudian ia juga sebagai ketua umum partai. Jika terjadi fenomena rapat Bersama komisi di DPR, yang kemudian ketua komisi dan anggota komisi tersebut terdapat anggota partai politik yang sama dengan ketua umum partai, apakah akan ada jaminan terjadi checks and balances di ruangan itu?

Hal sederhana seperti ini akan dapat mempengaruhi kinerja pejabat publik yang kemudian akan berdampak ke masyarakat lebih luas. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa pejabat publik yang kemudian juga sebagai ketua umu partai maupun anggota partai tidak melayani kepentingan partainya, sedangkan kepentingan partai belum tentu menjadi keinginan atau kebutuhan masyarakat.

Jika kita telisik Kembali Undang-Undang yang mengatur tentang Partai politik, yaitu Undang-Undang No 2 Tahun 2008 terkhusus pada BAB V tentang tujuan dan fungsi, terdapat ayat dan poin yang sedikit ambigu Ketika di telaah Kembali. Contohnya pada Pasal 11 ayat 1 tentang fungsi partai politik pada poin c yang berbunyi “penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara”.

Dalam poin ini, penulis merasa ambigu, mengingat dalam poin tersebut masyarakat juga seharusnya dilibatkan oleh partai politik dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Sedangkan dalam pengambilan keputusan partai politik yang juga diatur dalam Undang-undang No 2 Tahun 2008 BAB X Tentang pengambilan keputusan pada pasal 28 berbunyi “pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada pasal 27 sesuai dengan AD/ART partai Politik”. Artinya jika dalam pengambilan keputusan Partai Politik di kembalikan lagi ke aturan internal Partai Politik, maka tidak ada kewajiban masyarakat terlibat untuk terlibat dalam pengambilan keputusan Partai Politik.

Bukankah merumuskan dan menetapkan kebijakan negara seperti yang dimaksud pada pasal 11 ayat 1 diatas merupakan bagian dari keputusan partai politik? Jika tidak maka perdebatan akan selesai. Namun jika iya, tentu ini menjadi masalah terhadap masa depan perumusan kebijakan publik mengingat peran dan keterlibatan masyarakat sangat nihil untuk itu.

Namun penulis mencoba berasumsi, jika pasal 28 itu tidak ada kaitannya terhadap pasal 11 ayat 1 poin c, lantas seperti apa mekanisme partai politik ini dalam fungsinya sebagai penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara? Jika kemudian ada yang menjawab, mekanisme penyerapan, penghimpun dan penyalur aspirasi masyarakat dilakukan oleh DPR yang berasal dari partai tersebut, berarti benar bahwa setiap anggota DPR merupakan representasi dari partai.

Kemudian bagaimana jika penyerapan, penghimpun dan penyalur aspirasi masyarakat yang dilakukan oleh DPR jika seperti asumsi diatas berbeda dengan sikap partai? Mengingat terdapat tesis pada paragraf diatas yang menyatakan bahwa tidak ada keterlibatan masyarakat dalam pengembilan keputusan partai politik.

Tentu tahap paripurnanya adalah sikap partai, mengingat pengambilan keputusan di senayan didasarkan pada pandangan oleh sikap setiap Fraksi partai politik. Belum jika kita berbicara contoh kasus ketua umum partai yang menjadi Menteri, kemudian melakukan rapat komisi untuk merumuskan kebijakan dan melakukan koreksi, yang kemudian dalam perumusan kebijakan dan koreksi tersebut didasarkan dari sikap partai politik yang ketua umumnya juga sebagai Menteri yang sedang rapat komisi Bersama anggota DPR yang juga anggota partai dari ketua umum tersebut. Apakah ini sebuah posisi yang ideal?

Penulis berpendapat, jika sistem pemerintahan yang menerapkan konsep trias politica dapat berjalan dengan ideal, harus ada pembatasan ruang dan waktu terhdap partai politik agar tidak terjadi konflik kepentingan dan juga ambiguitas dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing jabatan. Mungkin ini yang menjadi penyebab utama, lemahnya control dan serapan aspirasi publik yang dilakukan oleh DPR saat ini.

Seharusnya ada pembatasan aturan bagi pejabat publik, khususnya eksekutif yang mengatur agar status keterikatan terhadap Partai Politik tertentu harus dihilangkan, serta terkhusus di Legislatif agar mengatur secara gambling atau bahkan merevisi mekanisme pengambilan keputusan di Legislatif yang didasarkan bukan dari sikap Fraksi.

Kita semua berharap, agar sistem demokrasi di Indonesia dapat efektif dalam merumuskan kebijakan publik yang memang benar-benar menjadi kebutuhan masyarakat agar dapat mewujudkan Masyarakat yang sejahtera sesuai dengan semangat dan tujuan Indonesia merdeka. Demokrasi bukan perihal memilih pemimpin saja, namun juga partisipasi dalam pengambilan keputusan agar dapar berpihak ke rakyat Indonesia.

Oleh I Putu Yoga Saputra, Masyarakat Sipil