Di Negara Demokrasi, Jabatan Publik Ada yang Serasa Feodal

Ilustrasi-pemegang jabatan publik. (foto:gemapos/pixabay)
Ilustrasi-pemegang jabatan publik. (foto:gemapos/pixabay)

 

Indonesia dikenal sebagai negara yang menggunakan sistem demokrasi. Hal tersebut secara empiris dan normatif dapat dilihat dari pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

"maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat...." (Penggalan alinea keempat Pembukaan UUD 1945)

Selain itu, terdapat juga bukti normatif pada batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 1 ayat 2 yang berbunyi “Kedaulatan Berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Pada pasal 28 juga berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”

Jika dipadukan dengan definisi demokrasi menurut para ahli, maka isi dari undang-undang di atas menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang menggunakan sistem demokrasi tulen. Salah satu wujud sederhana sistem demokrasi di Indonesia adalah adanya pemilihan umum untuk menentukan keterwakilan rakyat. Baik di eksekutif maupun legislative.

Sifat kekuasaan di sebuah negara yang menerapkan sistem demokrasi adalah tidak mutlak. Hal tersebut dapat dilihat dari jabatan-jabatan publik yang dibatasi masa kekuasaannya. Contohnya presiden dan wakil presiden, yang dibatasi 10 tahun maksimal menjabat. Namun, dalam negara demokrasi seperti Indonesia saat ini, terdapat jabatan-jabatan publik yang tidak diatur batas maksimal kekuasaannya.

Hal tersebut dapat kita lihat contohnya dari para anggota legislatif bahwa terdapat anggota legislatif yang menjabat bahkan bisa lebih dari 10 tahun atau dua periode masa pemilu. Padahal antara anggota legislatif dan juga presiden sama-sama dipilih langsung oleh rakyat lewat pemilu. Namun mengapa masa jabatan anggota legislatif tidak turut dibatasi juga? Bukankah dalam negara demokrasi seharusnya kekuasaan atau batas maksimal jabatan publik harus ditentukan?

Hal ini rasanya akan mustahil di wujudkan. Sejak isu ini bergulir, banyak anggota DPR RI yang tidak menyepakati usulan ini. Hal tersebut dikarenakan bahwa Undang-Undang No 17 Tahun 2014 yang mengatur masa jabatan tersebut merupakan open legal policy. Artinya, perubahan hanya dapat dilakukan oleh si pembuat undang-undang, DPR itu sendiri.

Dengan penolakan yang terjadi oleh para DPR maka akan sangatlah mustahil jika dilakukannya revisi Undang-Undang yang mengatur tentang batas maksimum jabatan anggota DPR.

Padahal apapun bentuk jabatan publik yang dipilih langsung melalui pemilihan umum harus dibatasi masa maksimum jabatannya sampai tidak boleh dicalonkan atau mencalonkan diri lagi. Hal ini menjadi penting mengingat bangsa kita menerapkan sistem demokrasi, harus ada pergantian subjek kekuasaan.

Beberapa argumentasi para anggota DPR yang menolak usulan ini agaknya sedikit kurang masuk akal. Contohnya seperti yang dikatakan oleh politikus PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan yang mengatakan bahwa “jabatan legislatif berbeda dengan jabatan ekskutif.”

Bukankah memang fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif itu memang berbeda? Penulis menyimpulkan bahwa argumentasi itu diluar konteks. Bahwa meskipun fungsi yang dimiliki berbeda, jabatan yang di raih melalui pemilihan umum tersebut erat kaitannya dengan wewenang dan juga kekuasaan.

Dimanapun itu, kekuasaan yang cenderung tidak dibatasi maka akan terjadi kekuasaan yang korup. Kekuasaan yang korup bukan hanya tentang korup anggaran saja, namun korup kebijakan. Terlebih, DPR memiliki wewenang fungsi kontrol dan juga penyusunan undang-undang. Dan jika masa kekuasaan anggota DPR tidak dibatasi limitasi maksimalnya, maka jangan heran jika setiap undang-undang yang disusun dan ditetapkan di DPR tidak berpihak ke rakyat kecil.

Fenomena ini sedikit menggoyahkan penulis tentang negara demokrasi. Apakah benar Indonesia menerapkan sistem demokrasi? Jika benar, mengapa beberapa jabatan publik yang dipilih langsung oleh rakyat bisa dipilih terus tanpa batas yang ditentukan terkhusus untuk anggota legislatif? Penulis sedikit menyimpulkan bahwa, anggota legislatif dipilih dengan cara demokrasi secara periodik, namun limitasi batas maksimal masa kekuasaannya rasa feodalisme.

Hal ini belum berbicara jauh tentang masa jabatan Ketua Umum Parpol. Bahkan ada Ketua Umum Parpol yang menjabat sampai lebih dari 20 tahun. Ini sangat memprihatinkan juga, yang dimana partai politik merupakan tulang rusuk demokrasi, namun jauh dari prinsip Demokrasi kekuasaan.

I Putu Yoga Saputra, Gen Z Pengamat Politik