5 Kebijakan Diusulkan Akademisi Bagi Jokowi Atasi Konflik Rakyat dan Perusahaan Sawit



Gemapos.ID (Jakarta) - Guru Besar Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV) dan Universitas Amsterdam, Ward Barenschott, merekomendasikan sedikitnya lima kebijakan perlu ditempuh Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) guna mengatasi konflik hak tanah rakyat dengan korporasi dan pemerintah dalam penggunaan tanah untuk perkebunan kelapa sawit. 

Pertama, pemerintah mendirikan badan mediasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota guna mengisi kekosangan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten guna menyelesaikan persoalan konflik tanah tersebut.

Kedua, pemerintah memberikan izin Hak Guna Umum (HGU) kepada perusahaan secara transparan. Ketiga, pemerintah memantau apakah perusahaan memberikan fee, prior, and informed consent kepada warga yang terdampak konflik atas hak tanahnya.

“Keempat, pemerintah harus tegas terhadap masalah kebun plasma dan mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan yang menolak kewajiban dan kelima, pemerintah pusat dan daerah yang menolak kewajiban dan terlibat dalam penyelesaian konflik tersebut,” katanya. 

Hal ini diutarakannya dalam ‘Seminar dan Peluncuran Buku Berjudul Kehampaan Hak Rakyat (Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia)’ yang digelar Universitas Paramadina dan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) di Jakarta pada Kamis (13/7/2023).

Ward Barenschott menyampaikan berbagai rekomendasi kebijakan tersebut setelah melakukan riset penggunaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit oleh sejumlah perusahaan di Indonesia yang dilakukan bersama Guru Besar Universitas Andalas, Afrizal dan tim yang diterbitkan dalam sebuah buku berjudul Kehampaan Hak Rakyat (Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia).

Ward Barenschott berharap lima rekomendasi yang dikemukakannya dapat menjadi solusi atas persoalan rakyat masih sulit memperoleh hak mereka atas kepemilikan lahan akibat ketentuan Velklaring 1870 yang merupakan warisan Kolonial Belanda. 

Selain itu guna memberikan perlindungan hukum atas hak tanah bagi rakyat lantaran aturan Velklaring 1870. 

“Apalagi perlindungan ini tidak bisa diberikan pemerintah akibat kalangan bisnis berkolusi dengan negara berupa keberpihakan kepentingan hanya untuk korporasi saja,” ujarnya.

Akademisi dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bvitri Susanti, mengamini persoalan besar pertanahan di Indonesia akibat pemerintah masih menerapkan Hukum Kolonial Belanda. 

Dari pengamatannya selama ini memang rata-rata negara bekas kolonial tidak membongkar hukumnya yang diwariskan penjajah itu lantaran menguntungkan orang yang memiliki kekuasaan.

“Kalau relasi-relasi kekuasaan tidak pernah dibongkar, maka kita tidak akan pernah bisa membongkar konflik-konflik yang ada, dan tidak hanya konflik agraria. Namun penyumbang masalah-masalah yang paling tinggi memang konflik agraria,” tuturnya.

Berbagai tindakan tadi yang dilakukan Pemerintah Kolonial digantikan oleh oligarki yang memberikan keuntungan bagi korporasi.

“Aparat pemerintah hanya menjalankan fungsi-fungsi adminsitrasi belaka, dan tidak ada respek, penghormatan terhadap hak hak warga dan HAM,” ucapnya. 

 

Hak Tanah Rakyat

Sebenarnya, Warga Negara Indonesia (WNI), ujar Ward Barenschott, memiliki beragam hak untuk melindungi kepentingannya. Contohnya, perusahaan harus meminta persetujuan warga sebelum memasukkan tanah warga ke dalam sebuah perusahaan. 

Namun, dari riset yang dilakukanya bersama Afrizal dan tim menemukan warga masyarakat amat sulit mendapatkan hak-haknya.

Hak lainnya yang mesti diperoleh warga atas lahannya adalah skema bagi hasil berupa skema inti plasma atau kemitraan. Namun, hak ini tidak diperolehnya, sehingga mereka memprotes atas hak yang tidak diperolehnya. 

“Secara resmi memang ada hak, tetapi isinya kosong. Dalam protes-protes warga, sering terjadi kriminalisasi dan represi atau kekerasan,” ujarnya.

Dengan begitu selama ini rakyat hanya bisa berjuang guna mempertahankan haknya dengan ‘Strategi Perlawanan atas Kehampaan Hak’. Rakyat lebih memilih kompensasi finansial ketimbang hukum dan perlawanan kehampaan hak.

“Padahal, Warga Negara Indonesia memiliki beragam hak untuk melindungi kepentingannya, oleh karenanya perusahaan harus meminta persetujuan warga sebelum memasukkan tanah warga ke dalam sebuah perusahaan,” ucapnya.

 

Abai PK MA

Pada kesempatan yang sama Afrizal menambahkan salah satu dari 150 kasus yang diteliti bersama Ward Barenschott dan tim adalah Warga Desa Olak-Olak di Kalimantan Barat (Kalbar) yang menuntut PT Sintang Raya (Kelapa Sawit) membayar kompensasi atas pengambilan sebagian tanahnya untuk lahan perkebunan kelapa sawit.

Berbagai aksi dilakukan warga guna menuntut haknya di depan bupati setempat, perusahaan, dan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, kasasi di Mahkamah Agung (MA). Namun, perkara ini tetap dimenangkan oleh perusahaan.

Dengan begitu mereka mengajukan Peninjauan Kembali (PK) yang dimenangkannya, sehingga perusahaan harus mengembalikan hak warga. 

Walaupun demikian, keputusan MA tidak diindahkan oleh perusahaan berupa hanya lima dari 11.000 hektar tanah yang diserahkan kepada warga. 

“Hampir tidak ada kompensasi atas kehilangan tanah dan penolakan penyerahan plasma kepada warga desa,” ujarnya.

Buku Kehampaan Hak Rakyat (Masyarakat vs Perusahaan Sawit di Indonesia) mengupas 150 kasus konflik lahan warga dengan perusahaan kelapa sawit di empat provinsi di Indonesia yakni Riau, Kalimantan Barat (Kalbar), Sumatera Barat (Sumbar), dan Kalimantan Tengah (Kalteng).

“Buku yang ditulis oleh Ward Barenschott dan Afrizal merupakan yang pertama kali membahas terkait masalah kehampaan hak warga negara atas lahan-lahan milik mereka yang dirampas perusahaan kelapa sawit,” ucap Bvitri Susanti. (adm)