Pemilik Lahan Sawit Terluas, Ini Dinamika Petani Sawit Mandiri di Luwu Utara

Ilustrasi: Petani yang sedang memanen sawit
Ilustrasi: Petani yang sedang memanen sawit

Gemapos.ID (Jakarta) - Provinsi Sulawesi Selatan dengan Ibu Kota Makassar sudah dikenal sebagai pintu gerbang atau hub daerah-daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Selaku hub KTI, provinsi ini memiliki sejumlah keunggulan baik dari ketersediaan infrastruktur, juga potensi sumber daya alam yang diantaranya terdapat komoditas ekspor seperti kakao dan kelapa sawit.

Dari 24 kabupaten/kota di Sulawesi Selatan (Sulsel), Kabupaten Luwu Utara memiliki  lahan sawit terluas dibandingkan daerah lain, dan perkembangan arealnya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Oleh karena itu, tidak heran jika pada Hari Jadi XXIII Kabupaten Luwu Utara pada 27 April 2022 lalu, Gubernur Sulsel, Andi Sudirman Sulaiman, dalam Rapat Paripurna DPRD Luwu Utara mengatakan, Luwu Raya ini menjadi kontributor terbesar ekspor di Provinsi Sulsel dan Kabupaten Luwu Utara. Hampir 80 persen ekspor Sulsel berasal dari Luwu Utara, utamanya dari sektor pertanian.

Gubernur pun berjanji akan membuka keran untuk mendorong masyarakat mengekspor hasil-hasil pertanian. Data Dinas Pertanian Kabupaten Luwu Utara pada 2020 mencatat, kabupaten ini memproduksi 336 ribu ton tandan buah segar (TBS) sawit per tahun, dan menjadikan Luwu Utara sebagai sentra penghasil sawit di Sulsel.

Kabupaten Luwu Utara yang berada di bagian utara Sulsel sebagian besar merupakan perbukitan yang sangat cocok dengan tanaman sawit. Kebun sawit pada tahun 2018 seluas 18.360 hektare, dan pada 2021 naik menjadi 23.988,42 hektare.

Sedangkan produksi sawitnya, menurut Kepala Dinas Pertanian Luwu Utara, Rusydi Rasyid,  sebanyak 336.426 ton tandan buah segar (TBS) per tahun pada 2018,  naik menjadi 386.174,60 ton pada 2021.

Dari luas areal tanaman sawit, terdapat 2.987 hektare tanaman sawit yang belum menghasilkan, serta 1.375 ha tanaman sawit yang sudah tua. Kebun ini tersebar hampir di semua wilayah Luwu Utara.

Sedang sebaran petani sawit di 13 kecamatan di Luwu Utara pada 2021 mencapai 15.395 Kepala Keluarga (KK). Dua kecamatan lainnya  di Luwu Utara yakni Seko dan Rampi yang merupakan dataran tinggi, tidak memiliki petani sawit.

Petani mandiri

Petani sawit di daerah ini yang sebelumnya didominasi sebagai petani plasma binaan PT Perkebunan Nusantara (PN) XIV, kini justru sudah didominasi petani sawit mandiri.

Peralihan tersebut tidak serta-merta terjadi, tapi ada proses yang mendahului yang dipengaruhi kondisi di lapangan. Petani yang menggeluti tanaman komoditas ekspor, khususnya sawit, di Luwu Utara terbagi dua yakni petani di bawah binaan pemerintah atau swasta (petani plasma) dan petani sawit mandiri.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Luwu Utara, H Rusydi Rasyid mengemukakan, hampir seluruh lahan sawit di wilayah Luwu Utara sudah dikelola petani sawit mandiri dan perkembangannya cukup pesat.

Hal itu setidaknya dipengaruhi adanya alih fungsi lahan atau komoditas yang semula kakao menjadi sawit. Petani cenderung melihat nilai dari komoditas yang digelutinya. Apabila ada komoditas yang nilai jualnya lebih tinggi, maka tidak segan-segan petani menebang tanamannya kemudian digantikan dengan tanaman yang dinilai lebih menguntungkan.

Hal itu terjadi pada komoditas kakao dan sawit yang pada saat ini, harga sawit jauh lebih baik sehingga banyak beralih ke tanaman sawit. Harga sawit di daerah ini kini sekitar Rp2.500 per kilogram.

Proteksi

Mencermati kondisi di lapangan, Pemkab Luwu Utara berupaya memproteksi lahan-lahan pertanian atau tanaman tertentu (kakao) melalui pengadaan peta jalan kakao berkelanjutan. Proteksi tanaman padi sudah lebih dulu dilakukan.  

Proteksi tanaman tertentu itu, tujuannya agar komoditas yang sudah diusahakan petani dapat terjaga. Termasuk adanya program peremajaan tanaman seperti tanaman sawit adalah salah satu upaya menjaga agar tanaman itu berkelanjutan.

Karena itu, tanaman sawit yang 20 tahun ke atas yang dinilai tidak produktif lagi, dilakukan peremajaan. Program tersebut sudah ada sejak 2018 dan berlanjut hingga saat ini, karena masih banyak tanaman sawit yang sudah tua.

Selain itu, ada program pengembangan tanaman sawit dengan memanfaatkan lahan kosong dari lahan tidur yang ada. Hanya saja lahan kakao hingga saat ini masih jauh lebih luas dibandingkan sawit.

Lahan kakao pernah mencapai 56 ribu hektare, kemudian anjlok menjadi separuhnya karena petani beralih komoditas ke sawit, namun sekarang sudah kembali menjadi 38 ribu hektare.

Hanya saja untuk mengembalikan luasan lahan kakao sama dengan sebelumnya, diakui sulit karena petani kakao sudah lebih menyukai mengurus lahan sawit daripada kakao yang membutuhkan perawatan lebih intensif.

Petani sawit sendiri di Luwu Utara didominasi petani sawit rakyat (mandiri) yang mengelola sekitar 26 ribu hektare. Jadi tidak ada mitra dengan perusahaan pengelola sawit.

Untuk memproteksi harga sawit, akan diterbitkan Peraturan Bupati untuk melindungi petani dari fluktuasi harga pasar. Sebelumnya, pemerintah pusat sudah mengeluarkan kebijakan dan menganggap harga sawit Rp1.600 per kilogram sudah batas aman, namun bagi petani harga tersebut tidak sebanding dengan biaya sarana produksi (Saprodi) yang dikeluarkan.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka Pemkab Luwu Utara sementara menggodok kebijakan perlindungan harga jual sawit yang dinilai aman untuk petani yakni Rp2.500 per kilogram untuk TBS.

Harga sawit sendiri saat ini berada pada kisaran Rp2.250 per kilogram, sebelumnya sempat anjlok hingga di bawah Rp2.000 per kilogram, sehingga terdapat sejumlah petani yang membakar tanaman sawitnya sebagai bentuk protes.

Pasalnya, ketika harga minyak sawit dunia melambung dan produksi sawit Indonesia banyak diekspor, namun harga sawit di tingkat petani tidak memberikan dampak positif. Para petani mandiri meminta pemerintah turun tangan melakukan intervensi, demi melindungi harga produksi di tingkat petani. 

Melihat kondisi petani sawit mandiri yang penuh dinamika untuk bertahan, maka sudah selayaknya pemerintah hadir di tengah mereka, dengan sebuah kebijakan yang memberi ruang kepada petani untuk hidup lebih sejahtera. Bukan hanya pengusaha sawit saja yang memiliki pabrik pengolahan yang mendulang keuntungan.

Kebijakan yang ditunggu bukan hanya di tingkat lokal, namun kebijakan pusat yang dapat melindungi petani sawit mandiri di manapun berada di Indonesia.(ri)