Indonesia Dinilai Peneliti Politik Alami Kemunduran Demokrasi, Ini Indikasinya



Gemapos.ID (Jakarta) - Perkembangan demokrasi telah mengalami kemunduran di Indonesia. Kondisi ini ditunjukkan dengan beberapa catatannya seperti kemunculan wacana penundaan pemilu dan wacana perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode bagi petahana.

Indikasi lainnya adalah presiden yang melakukan cawe-cawe berupa memberikan dukungan kepada dua bakal calon presiden (bacapres) Pemilu 2024.

“Padahal salah satu ciri dari pemilu yang demokratis adalah, kita tidak bisa tahu di awal siapa pemenangnya, menjadi menurun kualitas demokrasi bila siapa pemenang telah diketahui lebih dulu,” kata Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto.

Hal ini disampaikannya dalam ‘Diskusi Publik Continuum Big Data dan LP3ES bertajuk Popularitas Partai di Sosial Media, Apa Kata Big Data’ pada Ahad (25/6/2023).

Padahal, kelahiran pemilihan umum (pemilu) didorong oleh setiap warga negara berhak dalam proses pengambilan keputusan politik.

Walaupun, di sisi lain tidak mungkin setiap warga negara terlibat dalam setiap pengambilan keputusan tersebut.

“Pemilu adalah satu mekanisme demokrasi untuk memilih pemimpin,” ujarnya. 

Pemilu, ucap Wijayanto, juga digunakan sebagai cara negara bagi warganya untuk menunjukkan kedaulatannya dan mengambil keputusan politik memilih dan memandatkan kepada wakil rakyat atau pemimpin.

“Pemilu seharusnya membicarakan masalah-masalah yang dialami warga negara, lalu dibicarakan juga apa solusinya,” ujarnya.

Sementara itu partai politik (parpol) hanya terlihat membicarakan bacapres seperti PDI Perjuangan (PDIP) mendukung Ganjar Pranowo dan Partai Nasional Demokrat (Nasdem), sedangkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyokong Anies Baswedan. 

“Dengan demikian perbincangannya berkisar pada elit yang ada atau populernya karena ada kasus korupsi pada menteri-menteri yang berasal dari partai,” ucapnya.

Wijayanto mengemukakan parpol semestinya tujuh bulan menjelang pelaksanaan Pemilu 2024 menyodorkan konsep apa yang dapat didengar publik untuk berbagai macam masalah bangsa seperti Hak Asasi Manusia (HAM), kemiskinan, lapangan pekerjaan, dan isu lingkungan.

“Kita terjebak pada perbincangan tentang ‘pacuan kuda’, kemudian tentang koalisi antar partai, jadi isunya elitis sekali. 

PDIP belum didengar menawarkan pengenaan pajak progresif bagi orang kaya dan orang miskin akan mendapat subsidi negara. Kemudian, bagaimana PDIP bisa menyuguhkan aksi atas kerusakan lingkungan.

Begitupula Partai Nasdem tidak memberikan konsep penciptaan lapangan kerja pada masa depan dan generasi Z dan milenial yang semakin sulit memperoleh rumah tinggal yang layak.

Sementara itu Analis Big Data dari Continuum yang merupakan bagian dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Maisie Sagita menyebutkan dari 18 parpol yang lolos sebagai peserta Pemilu 2024 terdapat lima parpol yang paling popular di media massa yakni Partai Nasdem, PDIP, PKS, PKB, dan Partai Gerindra.

“Data yang diambil dari 485.743 perbincangan di media sosial dan terdiri dari 139.942 akun media sosial Twitter. Data yang didapat oleh Continuum telah disaring terlebih dulu dari buzzer dan BOT (Robot), sehingga dapat diperoleh pendapat dari akun akun masyarakat pada umumnya,” tuturnya. 

Korupsi ke Partai

Partai Nasdem menjadi parpol paling popular dengan tingkat penerimaan paling tinggi dan proporsi perbincangan positif yakni 77% atau 140 ribu lebih perbincangan oleh 26.056 akun medsos. 

Popularitas ini tercapai lantaran Partai Nasdem dan PKS dengan 39 ribu perbincangan menjadi partai popular. karena langkahnya yang berani menyalonkan Anies Baswedan dalam Pilpres 2024 dan dinilai menyelamatkan demokrasi. 

Partai Nasdem juga dianggap menyebabkan kader partai lain pindah ke parpol tersebut. 

“Di sisi lain, publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader Partai Nasdem dan meminta untuk menyelidiki aliran dan korupsi ke partai. Publik juga curiga dengan biaya pembangunan Nasdem Tower,” ujarnya. 

Sementara itu PKB dengan 38 ribu perbincangan bisa populer karena ada narasi perbedaan dukungan di akar rumput antara mendukung Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. 

Untuk PDIP dengan 110 ribu perbincangan positif oleh 30.785 akun medsos meraih 71,5% tingkat popularitas positif dengan Bacapres Ganjar Pranowo dan Partai Gerindra dengan 35,400 perbincangan populer karena didorong percakapan bacapres Prabowo.

Sebanyak 58,5% percakapan pendukung PDIP berisi dukungan kepada Ganjar Pranowo. Di sisi lain publik juga menyoroti tindakan korupsi yang dilakukan kader PDIP. 

“Padahal dulu PDIP memperjuangkan reformasi tetapi justru sekarang mendukung sistem pemilu proporsional tertutup,” ucapnya. 

Tindak Pidana Seksual

PKS memperoleh 39.542 perbincangan oleh 14.137 akun medsos dan memperoleh positive rate sebesar 80,9%. Elektabilitas PKS menjadi semakin naik karena mengusung Anies Baswedan sebagai Bacapres Pemulu 2024 dan menyelamatkan demokrasi. 

“Namun, PKS juga dikritik karena tindakan kekerasan oleh kadernya, dan menyoroti kader PKS lain yang menolak UU tindak pidana kekerasan seksual. Isu majunya Kaesang sebagai calon Walikota Depok juga memunculkan keinginan publik untuk menyingkirkan PKS dari Depok,” ujarnya.

Partai Gerindra mendapat 35.350 perbincangan oleh 16,132 akun medsos datri 58,1 percakapan berisi dukungan publik untuk kepada Prabowo Subianto.

“Publik juga mengapresiasi tim Gerindra yang mampu membangun citra Prabowo dengan sangat baik, tetapi di sisi lain tindakan Prabowo yang menggandeng keluarga Jokowi menyebabkan publik menilai Gerindra gagal dalam mengkader bibit bibit dalam partai,” ujarnya. (adm)