Pilpres 2024 dan Jokowi Effect

Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pada puncak acara Musra Indonesia di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (14/5/2023). (ant)
Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pada puncak acara Musra Indonesia di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (14/5/2023). (ant)


Politik Populisme

Fenomena maraknya kalangan selebriti terjun ke dunia politik mengingatkan kita tentang politik populisme. Bagaimana popularitas seorang tokoh politik menjadikan sistem kaderisasi suatu partai politik berubah lebih signifikan. Bahkan, sistem proporsional terbuka yang baru saja diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi membuktikan betapa popularitas ketokohan penting dalam proses pemenangan.

Sepertinya masih kurang pas kalau belum kita bahas sosok yang juga dikaitkan dengan politik populisme 10 tahun belakangan ini, Presiden Joko Widodo. Kemunculan Jokowi dikancah politik tanah air, tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Era reformasi memang memungkinkan, sosok seperti Jokowi yang "bukan siapa-siapa" ini bisa menjadi orang nomer 1 di Indonesia.

Padahal, Jokowi bukanlah seorang ketua umum partai politik. Juga bukan trah bangsawan atau darah biru. Termasuk bukan seorang bohir sukses tanah air. Lantas, apa sih yang membuat banyak pengamat politik mengatakan fenomena Jokowi ini sebagai "Jokowi Effect"? Apa benar, Jokowi sebagai King Maker Pilpres 2024 nanti?

Baru-baru ini, Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis hasil tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Jokowi mencapai sebesar 82%. Artinya, sampai sejauh ini masyakarat masih merasakan apa yang dilakukan oleh Jokowi selaku kepala negara sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat. 82% ini bukan sekedar angka. Tapi, data yang berbicara. Sampai-sampai, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengampanyekan istilah Jokowisme.

Dalam akun medsosnya, Jokowisme yang dimaksud adalah sebuah paham progresivitas Indonesia menuju sebuah negara bangsa yang maju, berkeadilan dan berdaulat dalam makna yang sesungguhnya. Baru kali ini, ada sebuah paham politik yang menokohkan politisi Indonesia. Para pendiri Republik saja, sepertinya tidak ada yang sampai koar-koar membicarakan istilah ideology seperti Sukarnoisme, Hattaisme atau Syahririsme.

Kalau memang tugasnya sebagai kepala negara, ya sudah wajib hukumnya Presiden Jokowi jalankan visi-misinya sesuai dengan amanah Undang-undang. Tapi, back to the topic. Yang paling menarik dari tren populisme Jokowi ini adalah gerakan "People Power" sejak tahun 2014 yang berdampak menjadi "Jokowi Effect". 

Jokowi Effect

Meminjam istilah dari judul sebuah film Hollywood,  All The President’s Men yang diadaptasi dari buku yang berjudul sama karya duo jurnalis The Washington Post, yakni Bob Woodward dan Carl Bernstein. Nampaknya, Pemilu 2024 ini masih tidak bisa lepas dari "Jokowi Effect".

Banyak kalangan media menyebut adanya "Jokowi Effect" sejak kemenangan Pemilu 2014 kemarin. Framing gerakan people power yang pro rakyat dan pemerintahan bersih dari korupsi, menjadikan PDI Perjuangan meningkat drastis untuk kemenangan di tingkat parlemen termasuk Pemilu daerah.

Selain itu, tingkat kepercayaan investor dalam menjalankan bisnisnya di Indonesia lebih baik dari periode sebelumnya. Selain penguatan iklim ekonomi, kebijakan populispun seringkali mendapatkan dukungan seperti saat Jokowi mengakuisisi tambang emas Freeport.

Gimana tidak, dengan tingkat kepuasan 82% saja menandakan bahwa masyarakat kita belum juga move on dari Jokowi. Menjelang masa purnanya, kharisma kepemimpinan Jokowi itu masih ada. Bahkan, koalisi partai politik yang ada saat ini belum bisa dipastikan solid terbentuk secara permanen. Dengan indikator tersebut, banyak yang memprediksi kalau Jokowi akan menjadi King Maker Pilpres 2024.

King maker itu sendiri adalah istilah yang sering dipakai saat kontestasi politik mulai berjalan. Biasanya nih, king maker melekat kepada seseorang atau kelompok politik yang memiliki kepiawaian untuk memunculkan kandidat potensial. Dan tentunya berhasil memenangi pemilihan umum sebagai bagian dari proses politik.

Memang sih masa kampanye belum dimulai. Tapi, rasa-rasanya kalau melihat dari 3 figur kandidat calon presiden yang sedang ramai diperbincangkan tentu sudah bisa kita tebak. Bahwa ketiga sosok yang akan mengganti Jokowi ini, masih merupakan 'orang-orangnya" Jokowi. Atau seperti yang disebut All the President's Men tadi.

Sebut saja beberapa nama seperti Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto bahkan Anies Baswedan yang sejauh ini tercatat sebagai figur kandidat potensial pengganti Jokowi. Tapi, dari ketiga nama tersebut, mereka semua adalah bagian yang tidak lepas dari Jokowi. Artinya, tidak ada calon Presiden lain yang merupakan figur diluar lingkaran Jokowi.

Ganjar Pranowo misalnya, Gubernur jawa tengah yang juga kader PDI Perjuangan ini jelas orangnya Jokowi. Bahkan, sebagai ketua alumni UGM, Ganjar dan Jokowi merupakan 1 almamater yang sama-sama terjun sebagai sosok politisi teknokrat.

Sedikit berbeda dengan Anies Baswedan. Meski sama-sama 1 almamater UGM dan sama-sama pernah menjadi Gubernur DKI Jakarta, sosok Anies ini memang agak lain. Mengusung isu perubahan untuk persatuan, Capres yang diusung oleh partai NasDem, Demokrat dan PKS dalam Koalisi Perubahan ini bukanlah kader partai politik manapun.

Anies juga seringkali berseberangan sikap politik dengan Jokowi. Padahal, dulunya Anies adalah tim kampanye pemenangan Jokowi dalam Pemilu 2014 dan sempat menjadi salah satu menteri di Kabinet Indonesia Kerja sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sudah jelas kepuasan publik kepada Jokowi 82%, lantas kebijakan apa yang mau dirubah?

Terakhir ada nama Prabowo Subianto. Siapa yang tidak kenal sosok jenderal satu ini? Diusianya yang sudah mencapai 71 tahun, Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) ini masih dianggap layak menggantikan Jokowi meski harus bertarung untuk ketiga kalinya.

Memang, kharisma Prabowo sebagai purnawirawan yang sangat patriotik dan nasionalistik tiada tandingannya. Prabowo juga merupakan rival Jokowi di Pemilu 2014 dan 2019. Padahal nih, keterlibatan Prabowo dengan Jokowi lebih dulu terbentuk saat Jokowi maju sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2012 silam. Jadi, wajar ya kalau pada akhirnya Prabowo bersedia untuk menjadi bagian di Kabinet Indonesia Maju sebagai Menteri Pertahanan.

Kapasitas untuk menjaga keutuhan NKRI sih tidak perlu diragukan lagi. Tapi, sayangnya gagasan-gagasan Prabowo ini masih dianggap terlalu konservatif. Sementara, untuk melanjutkan visi-misi Jokowi dibutuhkan politisi teknokrat yang lebih aplikatif dan revolusioner tentunya.

Jadi, apa kalian setuju kalau Pemilu 2024 mendatang masih tidak bisa jauh dari fenomena "Jokowi Effect"? Atau, diantara kalian masih ada yang belum rela untuk move on dari Pak Jokowi?

Bryan Pasek Mahararta, Co-Founder YOUTH SOCIETY