Menanti Maaf dari Jokowi, Sang Negarawan Sejati yang Sedang 'Mati Suri'

Damurrosysyi Mujahidain, Magister Kominikasi Politik UMJ
Damurrosysyi Mujahidain, Magister Kominikasi Politik UMJ

 

Di masa akhir periodisasi kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden Indonesia, terlihat tidak serta merta menjadi masa kontemplasi dirinya menuju individu yang lebih baik. Bahkan, Justru makin banyak wujud kesalahan yang entah dengan sengaja atau tidak terasa ditampakkan pada publik.

Terlebih lagi, berbagai catatan buruk tersebut mengarah pada indikasi Jokowi terhadap upaya intervensinya pada pelaksanaan pemilu 2024.Berbagai peristiwa kecurangan dan ketidaknetralan berulang kali ditunjukkan serta berlindung dibalik celah kelonggaran regulasi pelaksanaan pemilu yang belakangan sudah ditetapkan.

Gejala ini menjadi indikasi yang dapat menjerumuskan Jokowi sebagai salah satu presiden dengan catatan terburuk di akhir masa kepemimpinannya –mari berdebat soal ini. Deklarasi politik cawe-cawe nya pada 2023 lalu sudah melampaui batas normal. Ini bukan lagi diartikan sebagai aktivitas ikut campur yang didefinisikan dalam istilah cawe-cawe, melainkan sudah ikut basah.

Sikap tidak konsisten acap kali sengaja dilakukan bahkan dalam kurun waktu yang singkat. Alih-alih merasa bersalah, Jokowi justru semakin percaya diri dalam pembawaannya. Fenomena ini mungkin persis dengan yang pernah terjadi pada “The Smiling General, Soeharto.

Seperti yang pernah dituliskan O.G. Roeder (1976) dalam buku Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto, diterangkan bagaimana Soeharto tidak mampu menjalankan himbauannya sendiri. Soeharto berkata, “Kekuasaan pemimpin tidaklah mutlak”, namun dengan sadar ia bertakhta selama lebih dari 30 tahun sebelum akhirnya mengundurkan diri setelah dituntut oleh rakyat dan mahasiswa pada Mei 1998.

Terdapat pula kalimat Soeharto yang mengatakan, “Pemimpin harus pula bersikap jujur dan tidak licik”. Namun, belum setahun Soeharto melanggar wejangannya sendiri tentang dua sifat mulai tersebut. 17 Oktober 1959, Soeharto terjerat kasus.

Cawe-cawe yang dikatakan Jokowi sebagai bentuk tanggung jawab moral dalam masa transisi kepemimpinan nasional. Pada media CNN (06/05/2023), ia klaim hal ini sebagai upayanya dalam menjaga bangsa dan negara dari riak-riak yang membahayakan. Namun yang terjadi justru sebaliknya.

Demokrasi kian digerus akibat ulah Jokowi. Entah yang disampaikan lewat kata-kata, atau lebih jauh melalui sikap bawah meja yang memiliki pengaruh besar terhadap jalannya pemilu tanpa diketahui publik diawal.

Respon masyarakat sejauh ini seragam. Hampir seluruh elemen masyarakat memiliki pandangan yang sama terhadap kualitas demokrasi dibawah pimpinan Jokowi. Semua merasa resah dan bertanya-tanya tanpa adanya jawaban. Aksi protes dilayangkan mulai dari mahasiswa, hingga guru besar.

UGM memulainya dengan petisi Bulaksumur pada akhir Januari lalu. Petisi yang menuntut bahwa Jokowi diharuskan kembali pada jalan netral dalam menghadapi pemilu. Pun juga pada universitas lainnya yang turut menyambut aksi deklarasi terhadap tuntutan yang sama pada orang yang sama. Para akademisi terhormat tersebut sampai akhirnya turun tangan menyikapi kondisi hari ini.

Bukannya direspon dengan baik, beberapa pihak justru mempertanyakan kredibilitas para akademisi tersebut. Menghardik sikap intelektual dalam menyikapi keresahan yang ada dengan tidak bijak dan seakan tutup mata pada kondisi demokrasi yang dipaksakan terlihat baik.

Mari mengacu pada indeks demokrasi versi Economist Intelligence Unit (EIU) yang menyatakan indeks demokrasi Indonesia pada kriteria cacat (flawed democracy) dengan skor 6,71 di tahun 2022. Mungkin juga bisa melihat data kepuasan gen Z pada hasil riset IDN Research Institute dengan judul “Indonesia Gen Z Report 2024”.

Hasil riset tersebut memperlihatkan 59% responden mengaku tidak puas dengan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Belum lagi 15% lainnya yang mengaku sama sekali tidak puas. Lantas apakah data-data tersebut dapat dikesampingkan demi kepentingan ego kelompok?, sudah terlambat karena publik pun terlanjur mengetahui.

Jokowi harus bertanggung jawab pada perusakan demokrasi yang dilakukannya secara massif. Masa transisi ini menjadi momentum paling tepat untuk bagaimana ia mengakhiri masa jabatan dengan kesan positif atau negatif.

Pertanyaannya apakah Jokowi mampu melaksanakan amanat demokrasi? Tentu bisa. Kita sama-sama mengetahui bahwa Jokowi merupakan negarawan sejati. Kualitas sebenarnya bisa dilihat dari pengalaman memimpinnya sebelum menjadi presiden. Seperti pengalamannya pada masa menjadi walikota Solo yang teramat cemerlang hingga menarik atensi besar masyarakat kala itu.

Gaharnya Jokowi saat memimpin Solo tampak terlihat dari beberapa sabdanya nya yang hebat dan optimistis. Contoh saja ketika ia berkata, “Kita harus berani membuat terobosan, jangan rutinitas, jangan monoton, (harus) selalu ada pembaharuan, selalu ada inovasi” menjadi kalimat yang powerfull terlebih lagi terobosan dan inovasi nya memang benar-benar terwujud dan berbagai kebijakan populis beliau dapat dirasakan oleh warganya.

Misal saja pada mitos tahunan tentang pemindahan PKL Taman Banjarsari di pusat Kota Solo menuju Pasar Klitikan yang tak pernah rampung, dan sukses dilaksanakan pada masa Jokowi. Kemudian Batik Solo Trans Sepur Kluthuk Jaladara, juga bus tingkat Werdukara yang menjadi indikator kemajuan transportasi Solo. Segudang prestasi lainnya layak membuat Jokowi dianugerahi wali kota terbaik ketiga sedunia dalam pemilihan World Mayor Project 2012.

Tak lupa Jokowi juga pernah diberi gelar oleh Harian Republik sebagai “Tokoh Perubahan 2010”. Semangat perubahan sudah lama digaungkan oleh Jokowi dan berhasil menoreh prestasi yang menggembirakan warganya.

Perlu diketahui bahwa untuk dapat setara dengan Jokowi saja perlu penggabungan antara kecerdasan, kecerdikan, dan semangat nasionalis yang tinggi. Pada dasarnya, ia memang memiliki kapasitas yang mumpuni serta semangat nasionalis yang tidak diragukan lagi. Layak rasanya dijuluki sebagai Sang Negarawan Sejati. Sosok yang tepat untuk memimpin Indonesia. Awalnya.

Sebelum akhirnya lahir berbagai aksi tidak terima terhadap kebijakan dan sikap Jokowi belakangan ini. Mulai dari para akademisi, hingga aspirasi masyarakat sipil yang mungkin sekedar formalitas di mata Istana.

Somasi Koalisi Masyarakat Sipil yang dikirimkan pada Jokowi pada 9 Februari lalu tidak serta merta tiba-tiba ada. Koalisi yang terdiri dari 34 organisasi masyarakat dan 7 individu menunjukkan total 21 peristiwa kecurangan dan ketidak netralan Jokowi hingga hari ini. Begitu ironi nya kualitas demokrasi Indonesia. Begitu tulinya telinga pemerintah kita.

Kecerdasan setingkat Jokowi kiranya dapat memahami somasi tersebut sebagai sebuah teguran keras dari masyarakat, dan bukan surat cinta dari rakyat yang selama ini sengaja disetting oleh penguasa. Berhentilah mengglorifikasi ungkapan cinta palsu masyarakat yang dipaksakan di depan kamera dengan kalimat-kalimat yang sudah direncanakan.

Perlu diketahui, teguran dan kemarahan rakyat justru menjadi bukti cinta yang sesungguhnya. Bukti sayangnya rakyat pada Indonesia dan pada Jokowi dengan tulus. Hadapilah dengan bijak dan penuh rasa welas asih. Buktikanlah seorang Jokowi memang benar seorang negarawan sejati.

Negarawan yang selalu memenuhi amanat Pembukaan UUD 1945 yang meyakini bahwa negeri ini berdiri atas berkat rahmat Tuhan serta didorong oleh keinginan luhur untuk bisa berkehidupan kebangsaan yang bebas.

Seperti pada kajian Rolan Pennock tahun 1979 dalam Democratic Political Theory, yang menyebutkan contoh di Inggris banyak para politikus yang professional lebih banyak menyepakati norma-norma demokrasi, mulai dari yang abstrak hingga yang prosedural. Sebaliknya, para politisi amatiran hanya menyepakati hal-hal yang abstrak.

Di Indonesia, norma abstrak ditabrak dengan alibi non prosedural. Aturan prosedural diubah sesuai kepentingan dengan cara apapun. Jika Roland Pennock ke Indonesia, pastinya akan merasa minder dengan capaian kajian nya yang ternyata belum sekompleks hasil yang ia dapatkan. Perlu lah kiranya Roland meneliti kembali teori demokrasi itu di negara dengan level demokrasi cacat seperti Indonesia.

Di titik nadir demokrasi hari ini, Jokowi harus kembali tampil terdepan sebagai agen moral utama. Apalagi dapat disimpulkan bahwa penyebab hancurnya demokrasi tidak lain juga hasil dari kepemimpinannya. Jangan malu-malu, jadilah gentleman seperti yang dicontohkan Presinden AS Nixon yang sempat hancur akibat skandal Watergate di tahun 1974.

Dalam buku yang ditulis Nixon “Leaders, Profiles and Reminiscences of Men Who Have Shaped the Modern World”, ia menyesali sebesar-besarnya atas segala kesalahan selama memimpin dan tidak menghargai puncak kejayaan. Nixon juga bahkan mengambil contoh beberapa tokoh dunia yang salah satunya adalah Soekarno.

Bagian mana dari Nixon yang hendak Jokowi contoh?. Boleh jadi juga menulis buku yang berisi ungkapan penyesalan selama menjadi presiden. Dalam versi komik seperti yang biasa bapak Jokowi baca juga tidak masalah agar tidak terlalu memberatkan. Paling tidak hadir kesadaran dan kemauan untuk kembali menjadi negarawan sejati.

Apakah Somasi dan tuntutan permintaan maaf dari Koalisi Masyarakat Sipil belum cukup menggerakkan hati? Apakah tuntutan para guru besar belum cukup menyadarkan pikiran?. Rasanya bukan seperti itu sikap dari negarawan sejati. Tepatnya sikap anti pati pada nilai dasar demokrasi, dari seorang negarawan sejati yang sedang “mati suri”.

Damurrosysyi Mujahidain, Magister Komunikasi Politik UMJ