Kegagalan Partai Politik

Teddy C. Putra, Sekjen Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI). (foto:gemapos/dok.pribadi)
Teddy C. Putra, Sekjen Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI). (foto:gemapos/dok.pribadi)

 

“Tanggung jawab pertama seorang politisi itu adalah kepada rakyat” – Sabam Sirait 

Pada tahun 1950 hingga 1970-an, politisi dianggap sebagai profesi yang mulia. Banyak orang tua yang menginginkan anaknya menjadi seorang politisi, dengan harapan dapat menciptakan kesejahteraan bagi orang banyak. Setidaknya itu yang disampaikan oleh Anies Baswedan pada Dialog Publik yang diinisiasi Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Surakarta beberapa waktu lalu. Memang benar, politisi adalah jalan untuk merengkuh kekuasaan, dan melalui kekuasaan yang dibarengi dengan kewenangan tertentu, maka si pemilik kekuasaan dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang dapat memudahkan kehidupan rakyat.

Namun, belakangan ini fenomena yang terjadi justru berbeda. Jamaknya pejabat publik yang notabene seorang politisi tertangkap tangan melakukan korupsi menggerus kepercayaan publik. Benarkah politisi masih menjadi profesi yang mulia dan dianggap mampu menghadirkan kesejahteraan bagi orang banyak? Pertanyaan ini perlu terus dihidupkan sebagai bentuk evaluasi terhadap pemimpin-pemimpin bangsa yang menyelewengkan kepercayaan rakyat. Sebelum menyoroti politisi lebih mendalam, peran dari partai politik tentu tidak bisa dilepaskan dari situasi saat ini. Politisi lahir dari rahim-rahim partai politik yang memiliki ideologinya masing-masing—setidaknya ideologi yang dianut partai politik di Indonesia tidak lepas dari Pancasila dan UUD NRI 1945.

Partai politik oleh UUD NRI diberikan kewenangan yang sangat besar, karena hanya melalui partai politiklah pemimpin-pemimpin bangsa dapat dilahirkan. Anda ingin duduk di kursi eksekutif maupun legislatif wajib melalui sebuah organisasi yang bernama partai politik. Mengingat pentingnya peran yang diemban, partai politik tidak boleh setengah-setengah dalam menjalankan fungsinya ini. Menurut Miriam Budiardjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik, salah satu fungsi penting dari partai politik adalah “rekrutmen politik”—hal-hal yang berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan di internal partai maupun kepemimpinan nasional. Partai politik memiliki tanggung jawab untuk mencetak kader-kader berkualitas, tidak hanya demi kepentingan internal partai, tetapi yang lebih penting lagi adalah untuk kepentingan bangsa yang lebih luas.

Jalan Pintas

Sayangnya partai politik hari ini menyuguhkan cara-cara yang instan dalam merekrut kader di internal partainya. Berlandaskan atas popularitas yang dimiliki individu, partai politik melakukan rekrutmen demi kepentingan meraih suara di ajang pemilu. Tidak heran banyak partai politik di Indonesia merekrut pesohor-pesohor negeri yang telah memiliki popularitas di tengah masyarakat, sehingga memudahkan mereka dalam memperkenalkan diri. Mengutip apa yang dikatakan oleh Alissa Wahid, “negeri ini membutuhkan orang yang cerdas dalam memimpin, bukan orang yang ngetop”, maka partai politik di negeri ini telah keliru dalam memahami fungsinya.

Salah satu rekrutmen yang membikin gempar negeri adalah bergabungnya Kaesang Pangarep (putra bungsu Joko Widodo) ke Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Hanya butuh dua hari saja pasca menerima kartu tanda anggota (KTA), Kaesang langsung didapuk sebagai Ketua Umum oleh Dewan Pembina PSI. Apa yang terjadi di tubuh PSI tentu membuat banyak pakar geleng-geleng kepala. Keberhasilan Kaesang menjadi Ketua Umum tentu tidak lepas dari kelebihan yang dimilikinya—putra seorang Presiden RI, hehe. Saya menduga bahwa popularitas, media, serta akses yang dimiliki oleh Kaesang menjadi pertimbangan utama bagi PSI mengangkatnya sebagai Ketua Umum, meski baru dua hari secara resmi menjadi anggota.

Saya pun tidak pernah membayangkan bahwa partai politik dapat melakukan rekrutmen secepat kilat semacam itu. Sebagai orang yang aktif di organisasi, saya pikir untuk menjadi pemimpin sebuah organisasi, harus ada proses yang harus dilalui, setidaknya jenjang kaderisasi di internal organisasi—begitu pun dengan partai politik. Fenomena tersebut menunjukkan secara terang ke hadapan publik bahwa partai politik telah gagal melakukan kaderisasi di internal partainya. Langkah merekrut pesohor negeri jelang pemilu demi meraup suara lebih yang nantinya dikonversi sebagai kursi, juga langkah kilat mengangkat seseorang menjadi ketua umum meski baru menjadi anggota selama dua hari adalah fakta politik yang menunjukkan bahwa partai politik telah gagal dalam menjalankan fungsinya.

Fenomena partai politik seperti ini sudah dijelaskan oleh Andrew Heywood. Menurutnya, partai politik modern hari ini telah masuk dalam kategori yang diistilahkan oleh Otto Kirchheimer sebagai “catch all party” atau “partai tangkap semua”. Sebuah istilah yang menunjukkan bahwa partai politik secara drastis mengurangi muatan ideologis mereka dalam rangka memenuhi sebanyak mungkin jumlah pemilih dan kemenangan dalam pemilu. Singkatnya, partai politik hari ini lebih mengedepankan pragmatisme semata tinimbang kepentingan-kepentingan besar lainnya.

Fenomena-fenomena semacam ini menunjukkan bahwa demokrasi hari ini sedang mengalami defisit. Turunnya kepercayaan publik terhadap partai politik yang notabene memiliki peran penting dalam menyiapkan pemimpin bangsa masa depan justru mempertontonkan cara-cara instan dalam mencapai kepentingan kelompoknya. Hal ini kemudian yang menyebabkan banyak partai dan wakil rakyat kehilangan hubungan dengan rakyat yang diwakilinya. Kalau sudah begini, apakah dalam kita tetap begini-begini saja tanpa melakukan penghakiman terhadap mereka?

Teddy C. Putra, Sekjen Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI)