Renungan Atas Ibadah Haji

Ibadah Haji
Ibadah Haji

Sebagaimana jamak diketahui bersama, Islam mewajibkan semua pemeluknya untuk menunaikan ibadah haji ketika sudah mampu (istitha’ah) untuk melaksanakan ibadah haji, sebagai rukun kelima dalam ajaran Islam. Seseorang yang mampu berhaji belum bisa dikatakan muslim yang sesungguhnya sebelum ia menunaikan ibadah wajib yang satu ini. 

Oleh karenanya, tidak heran jika dalam setiap tahunnya terdapat ribuan umat Islam berbondong-bondong untuk mendatangi Baitullah, Makkah, untuk menunaikan ibadah haji. Hal ini selain untuk menunaikan kewajiban, ada beberapa faktor lain yang juga melatarbelakangi banyaknya umat Islam yang datang ke Makkah. 

Di antara faktor itu, misalnya, orang yang berhaji bisa mendapatkan ampunan semua dosa, jaminan mendapatkan kenikmatan surga, mendapatkan imbalan seperti jihad di jalan Allah swt atas harta benda yang dibelanjakannya, dapat menyaksikan langsung Baitullah dan Masjidil Haram, mendapatkan pahala berlimpah, dan lainnya. 

Selain pahala yang berlimpah, ibadah haji merupakan kesempurnaan sikap tunduk dan patuh dalam memasrahkan diri kepada Allah swt, pasrah secara jasmani dan rohani. Orang yang beribadah haji akan menyadari bahwa dirinya benar-benar ada dalam kekuasaan Allah. Tanpa-Nya, ia tidak akan bisa berbuat apa-apa.

Jika diangan-angan, ibadah haji memiliki kandungan yang sangat indah dan luar biasa bagi mereka yang menghayatinya, baik secara sosial maupun personal.

Dalam makna sosial, ibadah haji memiliki makna yang sangat dalam, yaitu penghapusan kapitalistik dalam diri siapa pun yang menunaikannya. Dalam pelaksanaannya, tidak ada perbedaan pejabat dengan rakyat jelata, orang kaya dengan orang miskin, kulit hitam dengan kulit putih, dan berbagai status sosial lainnya yang selama ini dibanggakan manusia. Ajaran ini tercermin sejak orang yang melaksanakan ibadah haji memasuki miqat.

Di sinilah semua status-status sosial harus mereka lepas. Semua bentuk yang menjadi lambang, pola, status, dan perbedaan-perbedaan tertentu harus hilang saat itu juga. Oleh karenanya, pakaian dan atribut yang terkadang menjadi pembeda antarmanusia dan berujung pada perpecahan, saat itu tidak lagi ada. Semua sama, sama-sama hamba Allah yang sedang beribadah kepada-Nya.

Selain penghayatan secara sosial, secara spiritual juga tidak kalah menarik dalam ibadah wajib yang satu ini. Haji merupakan aktualisasi ketakwaan. Pada bulan Ramadhan, kita menjadi tamu Tuhan. Sedangkan bulan Dzulhijjah, saatnya kita mendatangi Baitullah. Pada detik-detik terakhir haji itulah, kita tunjukkan loyalitas dan peleburan eksistensi dalam wujud penyembelihan hewan kurban kepada-Nya.

Berkunjung ke Baitullah dalam rangka beribadah haji, dengan harapan Allah menyambut dan mengakui sebagai tamu-Nya yang sah. Sebab, bisa saja orang yang beribadah haji menjadi hamba Allah yang tidak diundang ketika syarat-syarat sebagai tamu tidak terpenuhi, berupa syarat-syarat wajib haji dan rukunnya.

Selama pelaksanaan ibadah haji berlangsung, umat Islam diuji perihal ketidakberdayaannya dalam bergabung dengan tamu Allah yang lainnya dari segala bangsa, budaya, ras, mazhab, warna kulit, jenis kelamin dan lainya. Oleh karenanya, dalam konteks ini, haji akan menjadi salah satu momentum silaturrahim paling besar antarumat Islam.

Tidak hanya itu, ibadah haji juga merupakan miniatur dan momentum simulasi mahsyar (tempat dikumpulkannya manusia kelak di hari kiamat). Orang yang beribadah haji hanya diperkenankan menggunakan pakaian-pakaian ihram, bukan yang lainnya. 

Dalam hal ini, sangat tampak penghapusan kapitalistik antarumat Islam. Sebab, terkadang pakaian penyebab sombong kepada yang lainnya. Oleh karena itu, semua umat Islam hanya diperkenankan menggunakan pakaian ihram saja.

Dalam kitab-kitab fiqih klasik maupun kontemporer, orang yang sedang menunaikan ibadah haji tidak diperkenankan menggunakan parfum dan semua sarana pamer lainnya. Ia juga dikenai denda (kafarah) berat bila menunjukkan sikap narsis atau congkak dengan bercermin. Ia bahkan tidak diperkenankan menutup kepalanya agar sengatan sang surya yang menusuk kulit kepalanya menyadarkannya akan peristiwa dikumpulkannya manusia kelak di mahsyar.

Tidak berakhir di situ saja, masih ada penghayatan ibadah haji yang tidak kalah menarik dan inspirasi lagi, yaitu ajaran cinta lingkungan. Orang yang sedang beribadah haji tidak diperkenankan untuk membunuh hewan, mencabut tanaman, dan segala bentuk yang bisa merusak. Ia juga tidak diperkenankan menggauli istri saat itu. 

Dan, yang terpenting lagi, pelaku haji harus bisa menunjukkan sikap tegas dengan menolak segala kejahatan, kezaliman, dan kebatilan yang dituangkan dalam rangkaian ibadah haji saat melempar jumrah.

Di sinilah persatuan umat Islam sangat ditakuti oleh penguasa-penguasa zalim pada zaman dahulu hingga saat ini. Ketika semua umat Islam berkumpul, tampaklah bagaimana mereka bersatu, tampaklah bagaimana mereka sama-sama merangkul, tampaklah bagaimana mereka saling menjadi penolong bagi yang lainnya. 

Oleh karenanya, haji yang diterima oleh Allah akan menjadi haji mabrur, yang tidak memiliki balasan selain surga, sedangkan haji mabrur merupakan aling sempurnanya jihad fi sabilillah (berjuang di jalan Allah), sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah,

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ 

Artinya, “Haji mabrur tidak ada balasan baginya kecuali surga.” (HR Abu Hurairah)

لَكُنَّ أفْضَلُ الجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

Artinya, “Bagi kalian terdapat paling utamanya jihad, yaitu haji mabrur.” (HR Bukhari)

Demikian penjelasan seputar beberapa penghayatan yang ada dalam ibadah haji. Dengan mengetahuinya, semoga yang sedang menunaikan ibadah haji bisa melaksanakannya dengan lebih sempurna, sehingga bisa mendapatkan gelar haji mabrur yang merupakan paling utamanya berjuang di jalan Allah.

 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Kokop Bangkalan Jawa Timur