Mengapa Seseorang Menjadi Teroris?

Sapto Priyanto
Sapto Priyanto
Gemapos.ID (Jakarta) - Beberapa teori mengapa seseorang bisa melakukan aksi terorisme adalah sistem pengamanan yang kurang baik. Contohnya,  kasus Bom Bali I dan bom Bali II, Bom JW Marriot, Bom Kedutaan Besar (Kedubes) Filipina dan Kedubes Australia. Kedua, pelaku teroris melakukan perhitungan/pertimbangan tentang manfaat dan keuntungan yang didapat atas melakukan aksi tersebut. Contohnya, pelaku melakukan bom bunuh diri atas dasar keyakinannya bahwa suatu manfaat diperoleh bila pelaku melakukannya. "Menilai hal ini harus berdasarkan perspektif pelaku. Pikiran rasional pelaku di sini bukan hanya tentang untung dan rugi secara materi, namun dampaknya," kata Kriminolog Sapto Priyanto di Jakarta belum lama ini. Dampak ketakutan adalah yang diinginkan oleh pelaku, contohnya adalah aksi bom diri. Baginya ini rasional, ia memaksimalkan jumlah korban dengan memilih melakukannya di jam sibuk ketika keamanan juga sedang lemah. Ketiga, pelaku teror di Indonesia tidak pernah memiliki masalah psikologi atau normal. Mereka melakukan tindakan terorisme karena  pengaruh internal dan eksternal dari pelaku. Berdasarkan penelitian, 45% motivasi pelaku melakukan aksi terorisme adalah ideologi agama dan 20% soidaritas komunal. Selanjutnya, 12,7% mental gerombolan (pola pikir yang dipengaruhi oleh lingkungan), 10,9% balas dendam, 9,1% situasional, dan 1,87% menginginkan pemisahan. Tindak terorisme  akan dilakukan oleh sindikat Jamaah Ansharu Daulah (JAD), Mujahidin Indonesia Timur (MIT), jamaah Islamiyah (JI) dan afiliasinya pada 2021. Mereka menyasar pemerintah, polisi, dan rumah ibadah. S "Senjata yang mungkin digunakan dalam melakukan aksinya adalah bom dan senjata api," jelasnya. Faktor-faktor pemicu terorisme di Indonesia beragam antara lain pengaruh luar negeri (Bom Kedutaan Besar Filipina), konflik (bom di malam natal tahun 2000), dan sakit hati (ancaman bom di Vihara KwanTeenkoen Karawang karena dipecat). Kemudian, ekonomi (Bom di Mall Alam Sutera tahun 2009) dan pengaruh media online. Untuk memperlakukan pelaku secara manusiawi agar pelaku tidak merasa ditolak oleh masyarakat dan kembali pada kelompok jaringan terorismenya. "Kerjasama yang aktif antar lembaga baik lembaga pemerintah maupun non-pemerintah, meningkatkan peran tokoh masyarakat dan agama, melakukan patroli siber, mengupdate jaringan teroris, mengatur pengumpulan dana sosial, dan meningkatkan kerja sama dengan luar negeri," jelasnya. Saran pada tiap instansi pendidikan untuk tetap melakukan upacara bendera setiap hari Senin. Hal ini untuk screening terhadap orang-orang yang terapapar radikalisme. (m4)