Darurat ODOL
Alangkah baiknya, jika Menteri Perindustrian menyegerakan keberadaan UPPKB di sentra produksi dan kawasan industri, ketimbang meminta pelambatan kebijakan bebas ODOL. Mengutip dari Buku Potret Keselamatan Lalu Lintas di Indonesia Edisi 3 Desember 2019, Faktor rem tidak berfungsi menjadi faktor penyebab kejadian kecelakaan lalu lintas jalan tertinggi. Sebanyak 35,76% kejadian kecelakaan diawali oleh kondisi rem kendaraan bermotor yang tidak berfungsi. Faktor penyebab kedua adalah lampu tidak berfungsi yang berkontribusi terhadap 14,35% kecelakaan dan faktor penyebab ketiga adalah kerusakan roda yang berkontribusi terhadap 8,79% kejadian kecelakaan. Faktor rem tidak berfungsi diduga terbesar disebabkan mobil barang. Muatan lebih (over loading) salah satu penyebabnya, selain ada penyebab lain, seperti kurang mahir atau cakap ketika mengemudi. Data dari PT Jasa Marga tahun 2019, kejadian kecelakaan tabrak belakang (melibatkan kendaraan angkutan barang) terjadi sebesar 26,88 persen. Persentase kelebihan muatan yang terbanyak terjadi, yaitu 21-50 persen dari persyaratan dalam ketentuan mengenai Jumlah Berat yang Diijinkan (JBI). Pada 2019, dengan komposisi rata-rata Non Golongan I sebesar 14,0% berdampak pada kecelakaan sebanyak 48,02% (melibatkan kendaraan angkutan barang) di ruas tol milik PT Jasa Marga. Persentase kendaraan ODOL di ruas jalan tol ini adalah sebesar 37,87 persen. Jenis pelanggaran selama operasi penertiban pelanggaran kelebihan muatan (overload) sebesar 37,87 persen, over dimension 2,45 persen, ketidaklengkapan dokumen 3,59 persen dan yang tidak melanggar 55,91 persen. Komoditi mayoritas overload adalah muatan sembako 23 persen, air/minuman 17 persen, bahan bangunan (batu bata, hebel, batu, kayu) 10 persen, dan besi/baja/ alumunium 9 persen. Data dari Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), kecelakaan tabrak belakang (melibatkan kendaraan angkutan barang) di jalan tol mengalami penurunan. Tahun 2014 (36,63 persen), tahun 2015 (35,85 persen), tahun 2016 (33,12 persen), tahun 2017 (29,89 persen), dan tahun 2018 (30,50 persen). Berdasarkan data UPPKB Ditjen. Perhubungan Darat selama Februari 2019 pelanggaran semakin berkurang. Pelanggaran masih didominasi over loading sebanyak 90 persen, pelanggaran administrasi 9 persen dan pelanggaran over dimension 1 persen. Agar kendaraan tidak over dimension, saat uji kir perlu pengetatan sesuai aturan. Agar tidak over loading, saat penimbangan di UPPKB tidak perlu toleransi kelebihan. Jika ketahuan ODOL di jalan, Polantas berwenang menindak tanpa kompromi. Oleh sebab itu, sangat diperlukan sinergi pengawasan antar institusi untuk menuntaskan over dimension over loading (ODOL). Penyelenggaraan UPPKB oleh Ditjenhubdat, uji kir oleh Dishub di Pemda, Polisi Lalu Lintas mengawasi aktivitas di jalan raya, Hakim memutuskan ganjaran hukuman tertinggi, supaya ada efek jera untuk tidak mengulang. Revisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan untuk sanksi denda dan kurungan bagi pelanggar kendaraan ODOL perlu ditingkatkan. Pemilik barang dapat dikenakan sanksi, bukan pengemudi yang selalu menjadi tumpuan kesalahan. Djoko Setijowarno, akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat