Penanganan Terorisme Mesti Pendekatan Hukum

Wahyu Budi Nugroho
Wahyu Budi Nugroho
Gemapos.ID (Denpasar) - Penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di dalam negeri dikhawatirkan akan mengurangi fungsi pertahanan TNI. Bahkan ini akan membuatnya kembali ke ranah sipil.
"Polisi dengan doktrin keamanan berorientasi melumpuhkan, sedangkan TNI dengan doktrin pertahanan berorientasi untuk 'membunuh' dan 'menghancurkan'," kata Sosiolog Universitas Udayana, Wahyu Budi Nugroho di Denpasar, Bali pada Sabtu (31/10/2020).
Keberadaan dari doktrin pertahanan dikhawatirkan banyak pihak dapat menimbulkan persoalan HAM. Situasi ini seolah pelaku teror bukan untuk diadili dan dihukum, tetapi untuk ditembak mati di tempat.
"Ada beberapa catatan untuk tetap mengedepankan kepolisian dalam pemberantasan terorisme," ujarnya.
Pertama, setelah revisi UU Terorisme 2018 polisi sudah bisa bertindak sebelum kejadian teror.
kejadian. Jadi, beberapa tahun terakhir ini banyak  penangkapan anggota berbagai jaringan teroris di Indonesia.
"Kita sudah menerapkan offensive counterterrorist operations, bukan lagi sekadar defensive security," jelasnya.
Pertimbangan lainnya adalah setelah dibentuk Densus 88 angka teror di Tanah Air cenderung menurun. Dalam masyarakat demokratis atau proses demokratisasi sudah memiliki kepolisian yang kuat.
Ada pendekatan yang digunakan untuk melawan terorisme yaitu criminal justice model. "Terorisme perlu ditempatkan sebagai persoalan penegakan hukum yang ditangani kepolisian, bukan persoalan pemberontakan yang ditangani TNI," tandasnya. (din)