Omnibus Law Sama Dengan UU Cilaka?
Saat pengesahan Omnibus Law di Jakarta hanya terdapat para menteri koordinator, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak berada di tempat. Padahal, banyak kalangan ingin bertemu menyuarakan aspirasinya kepada salahsatu pemilik hak inisiatif UU. Presiden harus menerima kedatangan mereka dan tidak perlu khawatir dengan ancaman keamanannya. Kejadian ini membuktikan kepedulian kepada rakyat tidak diperlihatkannya secara penuh. Hal yang lebih mengherankan lagi penyampaian Omnisbus Law hanya dilakukan oleh Sekretariat Jenderal (Sekjen) DPR yang diterima oleh staf dari Menteri Sekretariat Negara (Sekneg). Padahal, UU ini merupakan UU terbesar yang dibuat DPR dan Pemerintah. Alasan ini hanya bersifat administratif dan DPR sudah masuk massa reses membuat geleng-geleng kepala. Kepedulian akan kepentingan UU kembali tidak diperlihatkan kedua pembuat UU. Untuk menghadapi berbagai kekisruhan Omnibus Law ditawarkan kepada Jokowi bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Kebijakan ini juga bisa dipertimbangkan sebagai jalan tengah dengan para pihak terkait. Namun, Jokowi belum terlihat akan mengelarkan Perppu lantaran sejak awal dia yang menginginkan pengesahan Omnibus Law secepatnya. Hal ini dibuktikan dengan meminta DPR membahasnya selama 100 hari. Padahal, pembahasan Omnibus Law memerlukan waktu lebih panjang dibandingkan UU lainnya. Karena, ini menyatukan puluhan UU dan ratusan pasal. Walaupun, keberadaan Omnibus Law dinilai sebagai jalan keluar membangkitkan ekonomi yang terburuk akibat pandemi Covid-19. Sebab, pembahasan RUU lain saja kadang menghabiskan waktu tahunan untuk membahasnya. Jika DPR dan pemerintah tetap memaksakan pemberlakuan Omnibus Law tinggal ditunggu dampaknya. Apakah ini bisa memulihkan atau memperburuk perkembangan ekonomi. Hal yang dibesar-besarkan dari kehadiran Omnibus Law adalah ini akan mendatangkan investor. Bahkan, ini mengalihkan investor ke Indonesia dari negara-negara lain seperti Vietnam. Kemudian, ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja, bahkan menambah lapangan kerja lantaran kemudahan berusaha. Jadi, ini dinilai tidak mendorong pemutusan hubungan kerja (PHK). Walaupun demikian, serbagai kalangan pesimis dengan pencapaian tadi lantaran kemudahan berusaha telah dirasakan kalangan asing dan pengusaha besar. Kalangan usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang masih merasakan kesulitan berusaha dari sisi perizinan dan permodalan. Lepas itu kita berdoa kepada pencipta negeri ini diberikan petunjuk apa yang terbaik baginya. Amin. (mam)