Kasus Brigadir J, KNPI: Jadi Momentum Menata Kelembagaan Polri

Koordinator Bidang (Korbid) DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Rasminto (ist)
Koordinator Bidang (Korbid) DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Rasminto (ist)

Gemapos.ID (Jakarta) - Kasus pembunuhan ajudan eks Kadiv Propam Polri, Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J jadi perhatian rakyat Indonesia selama sebulan terakhir ini, kini sudah mulai terbuka tabir kasusnya. 

Dengan ditetapkan 4 orang tersangka yang merupakan kolega korban atas perintah eks Kadiv Propam Polri Irjen Ferdi Sambo menjadi momentum penataan kelembagaan Polri. 

Hal itu diungkapkan Koordinator Bidang (Korbid) DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Rasminto dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (12/8/2022). 

"Kasus pembunuhan polisi oleh polisi yang ternyata tersangkanya adalah seorang Jenderal polisi dengan jabatan sebagai Kadiv Propam Polri jadi momentum penataan kelembagaan kepolisian," kata Rasminto. 

Menurutnya, kasus yang melibatkan 31 anggota Polri diperiksa dan 11 orang ditahan diantaranya berpangkat perwira tinggi serta 25 Pati dan Pamen Polri ikut dicopot jabatannya menjadi alasan kuat perlu adanya penataan kembali istitusi polri. 

"Kita tidak habis pikir kenapa bisa terjadi tragedi kelam dalam institusi Polri yang kita cintai ini, hingga terdapat 3 Pati Polri terlibat," kata Rasminto. 

Bagi Rasminto, para Pati Polri ini memiliki pengalaman pengabdian dengan waktu yang tidak singkat hingga dapat jadi jenderal di kepolisian. 

"Tentunya para Pati Polri ini memiliki pengalaman pengabdian yang tidak sebentar dengan lebih dari 20 tahun mengabdi di institusi Polri, kenapa bisa kontrol hawa nafsu dan amarah sehingga terjerembab dalam tragedi pembunuhan tersebut, apakah mungkin ada yang salah dalam sistemnya," kata Rasminto. 

Polri di Bawah Kementerian

Tragedi pembunuhan Brigadir J ini menurut Rasminto harus dijadikan momentum penataan kelembagaan Polri di bawah kementerian. 

"Kasus ini bisa dijadikan momentum penataan kelembagaan Polri di bawah kementerian," kata Rasminto. 

Rasminto beralasan jika Polri di bawah kementerian nantinya Polri tidak lagi disibukkan dengan persoalan anggaran termasuk kementerian tersebut dapat menjadi lembaga kontrol dalam antisipasi tragedi pembunuhan polisi oleh polisi tidak terulang. 

"Adanya Kementerian yang menaungi Polri selain dapat merumuskan kebijakan terkait keamanan negara juga dapat sebagai lembaga kontrol Polri itu sendiri," jelas Rasminto. 

Lebih lanjut, Rasminto menjelaskan dengan adanya Kementerian yang menaungi Polri akan meringankan tugas Polri itu sendiri. 

"Kedepan tugas Polri nanti dapat lebih fokus pada tataran operasional. Sebab, Kementerian tersebut akan berperan pada fungsi perumusan kebijakan, budgeting dan anggaran. Polri fokus pada tupoksi menjaga keamanan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum," jelas Rasminto. 

Menurut Rasminto terkait kementerian mana yang paling tepat untuk bisa membawahi Polri, Pemerintah dapat membentuk kementerian baru di luar Kemendagri. Kementerian baru tersebut bisa saja melalui pembentukan Kementerian Keamanan. 

"Kementerian baru yang akan menaungi Polri bisa memiliki nomenklatur yang sama dengan Kementerian Pertahanan. Sebab, berdasarkan UUD 1945 pasal 30 sistem pertahanan dan keamanan rakyat masih merupakan satu rangkaian yang terkait," jelas Rasminto. 

Lanjut Rasminto telaah mengenai UU No.2 tahun 2002 tentang Polri yang dijadikan dasar hukum Polri berada di bawah presiden, tidak memiliki dasar hukum dari UU di atasnya sebagai dasar hukum Polri berada di bawah presiden.  

"Ini jadi pijakan awal bagi pemerintah dan DPR untuk terlebih dahulu membahas RUU Keamanan Nasional yang dapat dijadikan landasan hukum ketika badan keamanan negara menjalankan tugasnya menaungi institusi Polri," jelas Rasminto. 

Rasminto berkeyakinan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi dapat melakukan penataan kelembagaan Polri yang lebih baik. 

"Pasalnya, di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi banyak perubahan besar dilakukan baik keberhasilan pembangunan nasional, hingga lakukan efektifitas kelembagaan negara melalui berbagai kebijakan perombakan K/L tersebut," jelas Rasminto. 

Rasminto juga menjelaskan dengan adanya perombakan atau penataan lembaga Polri di bawah kementerian dapat menata Polri sesuai konstitusi. 

“Polri dan TNI merupakan lembaga operasional. Untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban perlu ada penegakan hukum, itu Polri. dan untuk menjaga kedaulatan negara perlu TNI. Sehingga, logikanya lembaga operasional diletakkan di bawah salah satu kementerian keamanan untuk menaungi Polri, sebab TNI juga sudah berada di bawah Kementerian Pertahanan. Sebagai lembaga operasional harus dirumuskan di tingkat menteri oleh lembaga bersifat politis, dari situ perumusan kebijakan dibuat, pertahanan oleh TNI, dan keamanan-ketertiban oleh Polri," jelas Rasminto. 

Amanat Reformasi

Rasminto lebih lanjut menjelaskan bahwa kelembagaan Polri di bawah kementerian merupakan semangat amanah reformasi. 

"Kelembagaan Polri di bawah kementerian merupakan semangat amanah reformasi", kata Rasminto. 

Rasminto beralasan bahwa semangat reformasi tersebut tidak lepas dari sejarah penataan Polri saat Presiden Habibie menerbitkan Inpres No. 2 Tahun 1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan Polri dari ABRI.

"Dengan dilakukan serah terima di Markas Besar ABRI di Cilangkap oleh Letnan Jenderal Sugiono, Kepala Staf Umum ABRI, menyerahkan panji-panji Polri kepada Letnan Jenderal Fachrul Rozi, Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Keamanan", jelas Rasminto. 

Bahkan kedepan menurut Rasminto, Kapolda dapat dipilih oleh DPRD dan bertanggungjawab kepada Gubernur. 

"Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Presiden Habibie pada 10 Juli 1999 dengan menjelaskan pembagian tugas antara polisi dengan tentara. Pak Habibie bahkan mengemukakan bahwa ke depan, Kapolda bisa saja dipilih oleh DPRD dan bertanggung jawab kepada gubernur. Sementara Kapolri akan bertanggung jawab kepada presiden dengan anggaran yang dimasukkan dalam anggaran Departemen Dalam Negeri," tutup Rasminto. (rk/rls)