Bangkitkan Neo Orba, Jalan Ninja Jubir Keluarga

Bryan Pasek Mahararta, Co-Founder Youth Society. (foto:gemapos/dok.pribadi)
Bryan Pasek Mahararta, Co-Founder Youth Society. (foto:gemapos/dok.pribadi)

Pemilihan presiden (Pilpres) 2024 ini memang agak lain. Mulai permasalahan koalisi pengusung dan pendukung pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden, penyelenggaraan format debat yang jadi perhatian publik, sampai netralitas para pejabat publik yang masih sering dipermasalahkan.

Kehadiran menteri dan kepala daerah yang muncul di salah satu paslon dalam setiap sesi debat menunjukkan bahwa keberpihakan itu sudah menjadi kewajaran. Selain masalah konstitusi, etika politik selalu ramai dibahas sepanjang masa kampanye terbuka ini.

Bukan hanya pengamat politik saja. Mulai dari komedian, aktivis mahasiswa sampai masyarakat biasa saling memberikan komentar terkait keberlangsungan transisi kepemimpinan lima tahunan ini.

Netralitas dipertaruhkan

Beberapa pernyataan presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai Pemilu 2024 seringkali berubah. Terbaru, pernyataan Jokowi soal keberpihakan presiden dan jajaran menteri yang boleh ikutan berkampanye menimbulkan polemik di berbagai media sosial. Banyak netizen menilai Jokowi sudah mulai tidak konsisten dengan ucapannya sendiri.

Presiden Jokowi baru saja membuat video klarifikasi terkait pernyataannya yang menyebut bahwa presiden boleh memihak dan ikut berkampanye dalam pemilu. Klarifikasi ini disampaikan oleh Jokowi melalui video yang diunggah di YouTube Sekretariat Presiden.

Dalam video tersebut, Jokowi menjelaskan bahwa pernyataannya tersebut berdasarkan pada ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam pasal 281 misalnya, dijelaskan bahwa kampanye dan pemilu yang mengikutsertakan presiden dan wakil presiden harus memenuhi ketentuan.

Adapun ketentuan yang dimaksud adalah diperbolehkan melakukan kampanye selama tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan kecuali fasilitas pengamanan dan menjalani cuti di luar tanggungan negara. Pertanyaannya, apa bisa pejabat publik tidak mempunyai agenda lain seperti conflict of interest mengingat kekuasaan harus bisa dimanfaatkan?

Persoalan ini bermula dari pernyataan Jokowi yang sering berubah dengan apa yang pernah diucapkan sebelumnya. Saat perayaan Hari Santri Nasional bulan Oktober yang lalu Jokowi menyampaikan netralitasnya dan akan mendukung semua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Masih di bulan yang sama, sebagai presiden Jokowi memberikan arahan dan pesan kepada seluruh Pj kepala daerah agar tidak memihak kepada paslon tertentu.

Begitu juga sampai menjelang akhir tahun, Jokowi memberikan sambutan pada Rapat Konsolidasi Nasional 2023 dalam Rangka Kesiapan Pemilu 2024 yang digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berharap agar seluruh aparat negara baik itu ASN, TNI dan Polri harus bersikap netral dan tidak memihak.

Tetapi, saat menjawab pertanyaan wartawan dalam agenda serah terima alutsista udara dari Kementerian Pertahanan di Lanud Halim Perdanakusuma pada tanggal 24 Januari kemarin, Jokowi mengungkapkan jika dirinya sebagai presiden memiliki hak untuk berkampanye sekaligus berpihak asal tidak menggunakan fasilitas negara.

Pernyataan Jokowi ini disampaikan saat dirinya bersama salah satu kandidat calon presiden, Prabowo Subianto yang juga merupakan Menteri Pertahanan saat ini. Sontak reaksi publik menyoroti sikap dan ucapan Jokowi yang dianggap sudah tidak lagi konsisten mengawal demokrasi.

Klarifikasi Jokowi terkait keberpihakan pejabat publik disambut beragam reaksi dari masyarakat. Sebagian masyarakat menilai bahwa klarifikasi tersebut sudah cukup untuk menjawab polemik yang terjadi. Namun, sebagian masyarakat lain menilai bahwa klarifikasi tersebut masih belum cukup karena tidak secara tegas menyatakan bahwa Jokowi akan tetap netral dalam pemilu.

Jadi, apa benar presiden akan bersikap netral? Mengingat bahwa salah satu kontestan Pilpres 2024 ini adalah anak kandungnya sendiri, yaitu Gibran Rakabuming Raka. Publik pasti sudah bisa menebak keberpihakan Jokowi akan mendukung siapa untuk Pemilu 2024 kali ini.

Juru bicara keluarga

Reformasi adalah warisan demokrasi konstitusional bukanlah selera penguasa seperti era orde baru apalagi warisan keluarga. Komitmen untuk membangun pemerintahan yang demokratis harusnya dimulai dari penguatan sistem pemerintahan yang jauh dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Tapi, inilah wajah demokrasi kita saat ini. Sejak Mahkamah Konstitusi mengabulkan satu dari empat permohonan terkait perubahan syarat batas umur calon presiden dan wakil presiden. Banyak hal yang menduga adanya peran orang dalam (ordal) turut serta merusak tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Terutama yang berkaitan dengan adab etika dan moral politik penyelenggara negara.

Selain Gibran yang diloloskan sebagai calon wakil presiden, putra bungsu Jokowi, yaitu Kaesang Pangarep terpilih menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang baru 2 hari menerima kartu anggota. Begitu masif dukungan keluarga. Belum lagi baliho Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang bertebaran di sepanjang jalan meskipun anggota atau kadernya belum begitu banyak di setiap daerah.

Sungguh rasanya ada keistimewaan tersendiri bagi keluarga Jokowi untuk bisa lolos dengan mulus. Masing-masing anak punya peran dan bisa terlibat dalam dinamika politik lebih jauh lagi. Selain itu, para relawan yang menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan pun bertansformasi menjadi juru bicara (jubir) keluarga Jokowi.

Tak hanya sampai disitu, tanda-tanda keberpihakan dengan dalih merubah aturan sesuai dengan selera penguasa jelas mengarahkan pada kebangkitan neo orba. Eksponen aktivis 98 dan kelompok nasionalis terbelah. Ada yang berlindung dibalik kekuasaan, ada juga yang berjuang mempertahankan demokrasi konstitusional reformasi.

Semua pernyataan yang diucapkan para tim suksesnya kini telah menihilkan apa yang pernah mereka ucapkan saat Jokowi berhadapan dengan Prabowo Subianto di masa Pemilu 2014 dan 2019. Alasan mereka sama, yaitu membawa semangat rekonsiliasi persatuan nasional. Meskipun pada akhirnya politik elektoral hanyalah sebuah angka, maka urusan moral dan etika bukanlah yang utama.

Hashtag yang digunakan PSI pun sangat terang benderang untuk menggaet dukungan Jokowi, seperti "Ikut Jokowi Pilih PSI" atau "PSI Partai Jokowi" berseliweran dimana-mana. Dengan demikian, paksaan untuk melanggar aturan etika dan norma sudah menjadi bagian dari skenario dalam memenangkan Pemilu 2024. Game is over?

Terbaru adalah sambutan dari Kaesang pada saat PSI menggelar kampanye akbar di Bandung, Jawa Barat, 26 Januari lalu. Dalam sambutannya, Kaesang berharap agar presiden Jokowi bisa ikut serta berkampanye bersama relawan dan massa PSI. Tentu yang dimaksud Kaesang adalah Jokowi dengan kapasitas sebagai presiden meskipun sebagai bapak kandungnya restu Jokowi itu pasti ada. Kaesang pun meyakini jika hati dan jiwa raga Jokowi ada di PSI.

Perubahan yang terjadi pada sosok Jokowi ini seolah ingin menampilkan pribadi yang baru. Jokowi yang sekarang bukanlah "petugas partai" lagi. Diketahui bersama, PDI Perjuangan adalah partai politik yang selama ini turut membesarkan perjalanan politik Jokowi sejak mencalonkan diri sebagai Walikota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta hingga posisi puncaknya saat ini, yaitu Kepala Negara.

PDI Perjuangan juga merupakan simbol partai politik yang melawan arus politik rejim orde baru. Sementara itu, ditengah harapan masyarakat tentang penguatan demokrasi justru menjelang akhir periode kepemimpinannya, Jokowi menghadirkan politik dinasti yang sudah jelas berlawanan dengan cita-cita reformasi.

Selain dinasti politik yang diperkuat dengan kekuasaannya saat ini, simbol dukungan terhadap paslon juga merepresentasikan kebangkitan politik orde baru. Penyalahgunaan kekuasaan seperti menggunakan pembagian bansos untuk meraup suara, termasuk juga menggerakkan aparat untuk mengintimidasi aktivis dan masyarakat sipil pendukung paslon lainnya.

Hal inilah yang sangat disayangkan oleh banyak pengamat politik dan aktivis pro demokrasi. Jokowi seperti lupa asal usul karir politiknya. Misi ideologi partai seperti konsep Trisakti Bung Karno, revolusi mental termasuk memperkuat reformasi dari praktik korupsi dan nepotisme pun sudah mulai dikesampingkan.

Tampaknya, perjuangan terhadap kesejahteraan rakyat bukan lagi prioritas utama. Melainkan masa depan keluarga menjadi hal yang harus diselamatkan. Ibarat kata, menjadi jubir keluarga adalah jalan ninjaku.

Bryan Pasek Mahararta, Co-Founder Youth Society