Peran Mahasiswa di Era 5.0: Indonesia Belum Mampu!



Apa itu Society 5.0?

Society 5.0 diresmikan pada 21 Januari 2019 oleh pemerintah Jepang sebagai penyempurnaan dari konsep-konsep yang telah ada sebelumnya dan berpotensi untuk mendegradasi peran manusia. Maksudnya, di era ini, semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri dan internet bukan hanya sekadar tempat berbagi informasi, alih-alih untuk menjalani kehidupan.

Kemenko PMK mengatakan bahwa terdapat tiga kemampuan utama yang harus dimiliki setiap individu di era ini, yaitu kreatifitas, berpikir kritis, komunikasi dan kolaborasi.

Memiliki keterampilan dasar khususnya di bidang teknologi digital, serta berfokus pada kemampuan sumber daya manusia mengenai problem solving (pemecahan masalah), peran mahasiswa sangat dilibatkan sebagai harapan untuk menunjang pengoptimalisasian.

Berkenaan dengan itu, society 5.0 akan mengubah kebiasaan dan kehidupan manusia dalam berbagai aspek, seperti kesehatan, finansial, mobilitas, infrastruktur, dan lain-lain, serta era ini diharapkan mampu menciptakan nilai baru melalui perkembangan teknologi dan dapat meminimalisir adanya kesenjangan pada manusia (adanya perbedaan kehidupan antara dunia nyata dan dunia maya) dan masalah ekonomi di kemudian hari.

Problematika yang Dihadapi

Besarnya tuntutan yang diemban oleh mahasiswa sebagai generasi dan harapan atas kemajuan bangsa, disinyalir tidak dapat dilakukan sepenuhnya. Karena, tanpa adanya dukungan dan unsur-unsur penting di dalamnya, maka, penerapan era 5.0 akan sulit tercapai.

Teknologi yang selama ini diidam-idamkan dapat menjadi puncak kemudahan segala aktifitas manusia, tanpa sadar, juga dapat menjadi kehancuran bangsa (dari dalam) jika tidak diimplementasikan dengan baik. Misalnya, generasi muda saat ini masih banyak “termakan” berita hoax yang tersebar di media sosial (atau justru mahasiswa itu sendiri yang menjadi dalangnya (?)), belum lagi minimnya literasi yang menyebabkan sulitnya mencerna dan membedakan mana berita yang benar atau salah, hingga cyberbullying yang tidak pernah berhenti merenggut nyawa; dan yang paling mengejutkan dari itu semua, sebagian besar pelaku tindakan-tindakan tersebut tidak lain adalah remaja, sang penerus bangsa itu sendiri, seperti disebutkan dalam Jurnal Magister Psikologi UMA yang berjudul ‘Perilaku Cyberbullying Remaja di Media Sosial’ dan artikel yang dinukil dari Kompas.com.

Dilansir dari Binus Media, negara berkembang seperti Indonesia sangat sulit menerapkan society 5.0, mengingat penyediaan teknologi yang menjadi unsur utama dalam era ini belum secanggih milik negara maju seperti Jepang. Di Jepang sendiri, era 5.0 sudah diterapkan dan berjalan baik, karena hampir semua peran atau pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh manusia telah dialihfungsikan oleh teknologi seperti robot. Bukankah hal ini justru menambah tingkat pengangguran? Katanya era 5.0 dapat mengatasi masalah ekonomi?

Kemudahan-kemudahan yang terjadi di negara Jepang tidak sebanding dengan Indonesia. Masih banyak sekali hal yang harus dibenahi terkait penanaman karakter dan ambisi mendarah dagingnya semangat dan jiwa nasionalisme yang kian menurun. Budaya-budaya yang tadinya menjadi kebanggaan bangsa kian menipis karena informasi yang begitu mudah sekali masuk mengenai berbagai budaya asing yang bertolak belakang dengan ciri khas bangsa dan berhasil menggeser rasa cinta tanah air di era ini.

Teknologi yang telah mengambil alih pekerjaan manusia, kemudahan mengakses data ‘rahasia’, hingga “kepribadian ganda” yang dimiliki para remaja karena terbuai pada euforia sosial media, semakin membuat mustahilnya society 5.0 dioptimalisasikan di negara tercinta.

Peran guru yang tadinya dapat menjadi role model; peran orang tua yang tadinya mampu memberi dukungan dan penanaman karakter; peran teman-teman dan rekan sebaya yang tadinya dapat menjadi tempat berbagi cerita dan gagasan; peran masyarakat yang tadinya diharapkan dapat menghadirkan lingkungan yang kondusif bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang; hingga peran negara yang tadinya dapat menjadi “rumah” yang mendukung itu semua, tidak dapat terealisasikan dengan nyata. Kini, setiap orang telah menjadi individualis dan hanya berpikir untuk melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan diri sendiri saja. Sebab, unsur-unsur di atas tidak menjalankan perannya masing-masing sebagaimana mestinya.

Guru tidak dapat menjalankan perannya sebagai pendidik karena dihantui undang-undang kekerasan pada siswa; orang tua ‘tidak sempat’ menanamkan karakter pada anak-anaknya karena terlalu sibuk memenuhi tuntutan ekonomi; teman-teman dan rekan sebaya tidak dapat menjadi tempat berbagi informasi dan gagasan karena selalu sibuk dengan dunianya masing-masing; masyarakat tidak dapat menyediakan lingkungan yang kondusif karena merasa tidak ada kepentingan satu sama lain; bahkan negara tidak dapat menjalankan perannya sebagai “rumah” karena tidak lagi mendapat kepercayaan apapun dari rakyatnya.

Peran Mahasiswa di Era 5.0

Di era ini, mahasiswa sebagai agent of change, harus berperan sebagai pemimpin, menghasilkan kreatifitas dan inovasi dengan memperkaya literasi dan memiliki wawasan yang luas dalam hal perkembangan teknologi; yang berarti, potensi mahasiswa harus ditingkatkan, baik dari segi kuantitas dan kualitas; inovasi menjadi modal penting; karakter harus dikembangkan; empati dan toleransi harus dipupuk. Ya… Begitulah kata Syafitri Gusasi dalam artikelnya yang berjudul ‘Peran Penting Mahasiswa dalam Pendidikan di Era Society 5.0’ yang diunggah di id.scribd.com.

Namun, sepertinya harapan-harapan tersebut sulit dilakukan. Alih-alih sebagai penggerak perubahan, mahasiswa justru menjadi armada yang apatis dan “tidak ada bunyinya”. Anggapan tersebut terjadi karena kurangnya perkembangan dan ketersediaan teknologi yang memadai di negara ini, sehingga para mahasiswa sering turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasinya.

Bagaimana mungkin mahasiswa bisa menciptakan karya yang berguna dengan inovasi dan kreatifitas yang berkualitas bagi masyarakat jika tidak ada teknologi yang membantu terwujudnya hal itu?

Hal ini selaras dengan kutipan dari Morozov (2009) yang mengatakan bahwa generasi saat ini cenderung berpartisipasi dalam gerakan sosial melalui platform digital seperti sosial media yang disebut dengan slacktivism. Slacktivism adalah gerakan dimana tiap-tiap orang berteriak kencang di media sosial tetapi nihil di gerakan offline (nyata).

Nggak masalah, sih, tetapi jika fokusnya hanya di sosial media saja, barulah akan menjadi masalah. Sebab, jika sebuah generasi ingin membangun suatu gerakan mahasiswa yang berbicara mengenai persoalan gerakan moral (moral force) dengan tujuan membantu menyuarakan keadilan di tengah-tengah masyarakat, maka generasi tersebut harus mulai dengan melangkah langsung terjun blusukan ke tengah-tengah masyarakat untuk melihat, merasakan, serta mengadakan konsolidasi bersama rakyat untuk bergerak membentuk people power. Bukankah demikian?

Memang masih banyak waktu dan kesempatan untuk berbenah, namun, ketika hal-hal urgensi yang telah disebutkan seperti di atas terus ditunda dan dianggap remeh, maka, sesuatu yang tadinya mustahil, akan tetap menjadi mustahil. Mahasiswa, sang penerus bangsa, sang pemimpin peradaban yang tadinya diharapkan mampu mengemban amanah menjadi katalisator optimalisasi society 5.0, hanya menjadi angan-angan belaka. Indonesia di ambang kehancuran.

Opini oleh Dewi Susilawati