Wajah Demokrasi Dalam Kebangsaan Kita
Ada juga suatu negara di Afrika yang asalnya sistem monarki kemudian ada kudeta yang ingin mendudukkan pemerintahan demokratis. Namun beberapa tahun kemudian kembali sebagai monarki. Semua itu tidak lain adalah kehendak rakyat yang menginginkan sistem dan pola apa yang akan dipakai. Namun demikian, hingga kini memang sistem demokrasilah yang paling banyak diminati. Karena demokrasi lebih banyak memberikan peluang besar untuk tiap warga negara ikut bersuara dan berserikat. Termasuk pula membuka ruang luas kepada siapapun warganya untuk ikut ambil bagian dalam proses penyelenggaraan negara, memilih dan dipilih. Walaupun sistem demokrasi telah menjadi yang paling banyak dipakai di dunia, namun ternyata aplikasi dari demokrasi sendiri sangat variatif. Varian aplikasi demokrasi itu tidak lain juga merupakan upaya untuk mengkontekskan demokrasi dengan keadaan yang ada di masing-masing negara. Kontrak sosial di antara warga, termasuk pula negosiasi politik sebagai suatu bentuk kesepakatan, baik itu antar elit-elit, maupun elit dengan warga akan menjadi pertimbangan utama dalam rangka perumusan konsep demokrasi di masing-masing negara. Demokrasi di Amerika tentu berbeda dengan demokrasi di Korea Utara. Demokrasi di Jerman Timur tentu berbeda dengan yang berlaku di India. Inilah nampaknya, demokrasi sering dijadikan jargon dalam rangka untuk mengukuhkan suatu pemaknaan demokrasi yang idealitasnya adalah suara rakyat dan keinginan rakyat. Tidak hanya di negara-negara asing tersebut, di Indonesia pemaknaan demokrasi ternyata juga sangat bervarian. Era kemerdekaan, hingga tahun 1959 Indonesia memakai sistem demokrasi liberal. Ketika itu partai-partai dengan sedemikian banyaknya. Saking bebasnya berpolitik ketika itu, partai-partai saling bersaing dengan idenya dan saling kritik satu sama lain. Walaupun mereka menginginkan kebaikan untuk negara baru Indonesia, namun sebagai akibat dari sistem yang belum tertata dengan baik, kabinet parlementer saat itu sangat sering berganti-ganti. Sehingga mengakibatkan, kondisi negara tidak kunjung stabil, karena energi banyak tercurah ke soal-soal politik. Demikian pula, ketika era Orde Lama di mana kebebasan terpasung, hak-hak berpolitik dari rakyat dibatasi, termasuk pula banyaknya pembubaran partai politik yang mana mengakibatkan pola kekuasaan tersentralisasi ke struktur presiden. Era ini pun menurut penggagasnya yakni Presiden Soekarno juga disebut dengan demokrasi, yakni demokrasi terpimpin. Soekarno ingin rakyat solid dulu di bawah kepemimpinannya, mengkonsolidasikan kekuatan untuk beberapa agenda perjuangan yang harus diatasi. Misalnya penguatan ekonomi, pemertahanan NKRI dan termasuk pula sebagai suatu strategi konsolidasi antar kekuatan-kekuatan bangsa dalam menghadapi ancaman luar. Bahkan kata Soekarno ketika itu, buat apa berdemokrasi, atau berperilaku liberal kalau rakyat kelaparan. Ketika era Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto, demokrasi lagi-lagi masih merupakan pilihan sistem penyelenggaraan negara Indonesia. Dengan suatu upaya untuk mengawinkan dan membuat sinergis antara demokrasi dengan konteks ke indonesiaan, ketika itu diaplikasikan yang namanya Demokrasi Pancasila. Namun, dalam perjalanannya yang terjadi adalah demokrasi semu yang formalistis. Yakni prosedur-prosedur demokrasi dipenuhi dan diberikan landasan hukum. Walaupun prosedur-prosedur itu telah diatur sedemikian rupa dengan suatu hegemoni kekuasaan dari sekelompok pihak yang berkuasa ketika itu. Partai diadakan, namun disederhanakan menjadi tiga. Pemilu diselenggarakan rutin, namun penuh kecurangan dan rekayasa. Struktur pemerintahan sebagai suatu unsur pembagian kekuasaan ada, namun semuanya secara hegemonik tunduk pada kuasa presiden. Tiada check and balancies dalam penyelenggaraan negara. DPR, MPR, BPK, dan MA semua seolah manut pada Presiden. Di era reformasi ini, yang juga dikatakan era demokrasi. Nampak sekali tidak sama penerapannya dengan penyebutan demokrasi pada era-era sebelumnya. Di era ini, kita tidak pernah lagi menyebut demokrasi Pancasila, sebutan demokrasi liberal pun tidak pernah terdengar. Nampaknya, di era sekarang sudah tidak diperlukan lagi kata sifat yang mungkin justru membingungkan. Sekarang kebebasan dalam politik luar biasa sekali. Check and Balancies sudah mulai diterapkan dengan baik dalam lembaga-lembaga negara. Parpol bebas berdiri, suara rakyatpun dihargai one man one vote. Caleg sudah tidak memakai nomor urut. Otonomi daerah sudah lebih luas diberikan. Ada pembagian dana yang jelas antara pusat dan daerah dan sebagainya. Semangat ini harus diapresiasi sebagai suatu upaya dalam rangka mewujudkan demokrasi di Indonesia yang paling dirasa pas dan memenuhi harapan orang banyak. Suatu dinamika ide yang senantiasa memperbarui yang lama yang kurang baik dan mencari sesuatu yang baru yang lebih menjanjikan. Walaupun tetap harus senantiasa berakar pada jati diri bangsa. Sejarah telah membuktikan itu semua, oleh karenanya demokrasi Indonesia sudah seharusnyalah dibangun oleh orang Indonesia sendiri dan tidak menjiplak negara lain. Aji Setiawan, Penulis bertempat tinggal di Purbalingga, Jawa Tengah