Jauh dari Janji Penuntasan Kerja
Dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi sebenarnya tidak bisa diatasi pemerintah dengan keberadaan UU No. 2/2020. Semakin hari banyak perusahaan yang tutup akibat tidak meraih penghasilan yang berujung pemutusan hubungan kerja (PHK). Kalaupun, ada perusahaan yang tetap beroperasi tapi mengurangi gaji pekerjanya, pemerintah tidak memberikan subsidi ke semua pekerja. Hal ini hanya didasarkan perusahaannya mengikutsertakan dalam program kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Padahal, banyak pekerja yang tidak didaftarkan oleh tempat bekerjanya. Jadi, hal ini hanya menyentuh sebagian karyawan yang bekerja di suatu perusahaan. Banyak karyawan yang terpaksa bekerja di perusahaan yang tidak mengikutsertakan dalam program pemerintah lantaran terdesak belum memproleh pekerjaan di tempat lain. Selain itu mereka tergencet harus segera memperoleh pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidup. Program bantuan sosial (bansos) juga belum bisa dinikmati semua masyarakat yang terdampak Covid-19. Sebab, data yang digunakan bukan data terbaru pada 2020, tapi merupakan data lima tahun yang lalu. Tida heran, sebagian warga yang berkecukupan menerimanya, tapi warga yang tiba-tiba terdampak Covid-19 tidak memperolehnya. Hal ini bisa terjadi akibat tidak dilakukan pembaruan data atau ada permainan dengan pihak-pihak terkait. Hal yang lebih memprihatinkan adalah anggaran tenaga kesehatan yang tidak segera cair. Padahal, ini tidak hanya menopang kebutuhan mereka yang menangani pasien-pasien Covid-19. Namun, itu merupakan sebagian bentuk penghargaan atas kerja keras mereka mengurus pasien-pasien Covid-19. Birokrasi dijadikan kambing hitam penyebab kebijakan inii tidak dapat dilakukan pemerintah. Kehilangan Jati Diri Salah kaprah sudah biasa terjadi di pemerintahan Jokowi-Maruf Amin terlihat dari bagaimana Kementerian Pertanian (Kementan) memunculkan tanaman kayu putih untuk penanganan Covid-19. Padahal, ini merupakan tugas Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupaya menggali potensi sumber daya alam (SDA) untuk penanganan Covid-19. Apalagi, ini dilakukan Kementan tanpa berkoordinasi dengan Kemenkes. Hal lainnya adalah Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengurusi ketahanan pangan dengan menanam singkong. Ini merupakan tugas Kementan untuk melakukannya. Kementerian lain bukannya tidak controversial lihat saja Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) yang mengizinkan ekspor benih udang. Padahal, ini akan mengeksploitasi pertumbuhan udang di Tanah Air. Apalagi, beberapa eksportir ternyata memiliki keterkaitand dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yakni kakak dari Menhan Prabowo Subianto. Sontak saja masyarakat kembali disadarkan oleh pihak yang mengatasnamakan membela rakyat ketika duduk di pemerintahan akan lupa akan hal tersebut. Sementara itu pemberian izin operasional sejumlah pabrik yang mengakibatkan kemunculan klaster baru Covid-19. Mereka tidak melakukan protokol kesehatan (prokes) Covid-19 secara ketat. Penanganan pandemi Covid-19 memang amburadul lantaran kementerian perekonomian yang memimpinnya, bukan kementerian kesehatan. Padahal, apabila pandemi Covid-19 tertangani roda perekonomian perlahan bisa bergerak seperti semula. Gelombang Kedua Selain itu rencana penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Padahal, kasus positif Covid-19 masih terus menanjak di sejumlah daerah. Apalagi, kerumunan pemilih melakukan hak pilihnya tidak mungkin dihindari ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Mereka juga ingin menyaksikan pilihannya dalam perhitungan suara. Sebelumnya, kerumunan massa sudah terjadi sewaktu mereka mengantarkan calonnya mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Mereka datang tidak menerapkan prokes Covid-19. Itu hanya sekelumit perjalanan setahun Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin semoga bisa menjadi bahan evaluasi untuk ke depan lebih baik. Indonesia membutuhkan pemimpin yang mau mendengar kritikan supaya terjadi perkembangan semakin baik negeri ini. (mam)