Perempuan dan Anak Terdampak Pandemi Covid-19
Sekarang tinggal bagaimana seluruh komponen bangsa bergerak, jadi bukan cuman pemerintah bicara mengenai bagaimana mencegah Covid-19. Kadang-kadang omongan pemerintah itu enggak terlalu efektif pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Apa pesan Anda supaya keluarga supaya lebih peduli kepada anggota-anggotanya di tengah pandemi Covid-19? Kepada seluruh orang tua di Indonesia ini agar paham mengenai apa yang kita hadapi di era pandemi Covid-19, karena itu kita wajib mencegah dan melindungi anak-anak dan keluarga kita di rumah. Kemudian, laksanakan protokol kesehatan dengan baik yakni jaga jarak, cuci tangan, perbaiki sanitasi, dan pakai masker. Itu sebenarnya sudah life style dari setiap keluarga di Indonesia. Kasus terakhir di Korea Selatan, itu Kasus Starbuck menjadi pusat penyebaran baru, karena ada 50 orang lebih tapi tidak satupun petugas Starbuck yang kena. Karena, mereka menggunakan ini (masker) dan cuci tangan dan ganti baju sebelum mereka pulang. Enggak ada satu pun yang kena, padahal dia tuh jadi episentrum baru penyebaran pandemi Covid-19. Ada lebih dari 50 orang yang kena. Bagaimana kualitas anak di Indonesia? Kualitas sekarang menurut saya jauh lebih baik, tetapi masalah pendidikan bukan hanya pendidikan kognitif tetapi juga pendidikan karakter yang mungkin perlu dorongan besar untuk bagaimana kita memastikan setiap anak dalam 30 tahun sampai 50 tahun ke depan memiliki karakter yag kuat. Orang Jepang melatih bagaimana tahan banting anak untuk mencintai negerinya. Jadi penting itu mencintai negerinya, mencintai budayanya, orang Jepang kemanapun pergi orang tahu dia orang Jepang, karena enggak berubah gayanya. Bagaimana kita mampu membangun karakter anak-anak agar dia mampu menjadi karakter yang tinggi dan berkarakter yang kuat. Bagimana Anda menanggapi anak yang harus bekerja untuk bertahan hidup? Pilihan anak bekerja sebenarnya harus dihindari oleh setiap orang tua dan keluarga. Maka itu membentuk keluarga harus ada kesiapan di empat pilar itu tadi, ekonomi, fisik, sosial budaya secara psikologi. Pada saat dia dititipkan Tuhan seorang anak, dia harus mampu tadi, jangan disuruh kerja, berarti dia hubungannya dengan Tuhan juga enggak bagus itu mempekerjakan titipan Tuhan. Apa tantangan yang dihadapi KPPA menjalankan kerjanya? Menurut saya menjadi tantangan buat KPPA ke depan mendorong mindset mengenai kesetaraan gender, karena isu gender itu temporal spasial berdasarkan ruang dan waktu itu beda-beda. Kalau kita ngomong isu gender di Sumatera Barat dengan ngomong itu gender di Sumatera Utara berbeda, karena ada budaya yang mempengaruhi di belakangnya, budaya perilaku nenek kakek kita. bagaimana menjadi perempuan dan laki-laki itu kan berbeda-beda menjadi perempuan dan laki-laki yang ideal sesuai dengan harapan KPPA yang selaras dan seimbang itu tadi yang jadi tantangan kita. Bagaimana isu ketimpangan gender? Yang KPPA laksanakan adalah gender dari sisi konstruksi sosialnya, konstruksi sosial yang membedakan laki-laki dan perempuan. Jadi pengalaman, akses, dan kontrol menjadi perempuan dan laki-laki yang berbeda . Karena, itulah maka gender berdasarkan ruang dan waktu. Isu gender waktu jaman Kartini dengan di jaman Anda berbeda. Jaman Kartini mau sekolah susah, sekarang waktu jaman Anda sekolah gampang, SD SMP SMA disubsidi pemerintah, Data BPS tentang angka partisipasi sekolah perempuan di 15 provinsi sudah melampaui laki-laki. Kalau 100 itu angka ideal pada beberapa provinsi, 15 provinsi itu angkanya sudah 100 lebih yakni 110 dan 127, berarti ada laki-laki yang hilang. Ketika kita bicara isu gender dari bidang pendidikan yang jadi masalah isu gendernya itu ketimpangan besarnya terjadi dari drop out-nya. Perempuan tinggi dropout-nya. Dari isu kesehatan angka kematian yang tinggi sampai sekarang, kita belum bisa nurunin. Kemudian, dari sisi ketenagakerjaan, tingkat partisipasi angkatan kerjanya rendah, ini yang isunya macam-macam perempuan harusnya di rumah ngurusin dapur, jadi dia nggak usah kerja. Ketika suami dalam keluarga meninggal, siapa yang menghidupi keluarganya, maka perempuan menggantikan peran. Karena, itulah setiap keluarga sebenarnya harus mempersiapkan anak perempuannya bisa survive dan life skill. Apa hubungan kekerasan dengan investasi? Setiap orang punya hak untuk mendapat pekerjaan yang sebaik-baiknya, perempuan maupun laki-laki, tapi kemudian kalau dia mengalami kekerasan apapun bentuk kekerasannya, maka sia-sialah. Negara sudah bayar berapa 20% dari total APBN untuk sekolah, lima persen dari total APBN sudah kita bayar untuk supaya orang bisa sehat, ada program-program dikeluarkan untuk ketenagakerjaan, tapi semua akan menjadi sia-sia kalau orang itu mendapatkan kekerasan.