Populisme Islam Ancam Kebhinekaan Indonesia
Namun, itu tidak dilakukan partai-partai berideologi Islam akibat jumlahnya terlalu kecil dibandingkan partai-partai nasionalis. Sebuah studi menyebutkan kebijakan publik yang bermuatan syari’ah justru dilakukan oleh legislator daerah dari banyak partai nasionalis, bukan hanya partai berideologi Islam seperti PKS. (Buehler 2013) “Di antara legislator dari partai-partai nasionalis itu, di banyak daerah, tidak peduli dengan platform partai mereka yang menjunjung tinggi kebinekaan ketika mereka dihadapkan dengan gerakan, jaringan, dan lobi kelompok Islam yang punya agenda menerapkan syariat Islam dalam kebijakan publik di daerah,” paparnya. Banyak politisi nasionalis di daerah meleleh ketika dijanjikan oleh kelompok Islam bahwa mereka bakal mendapatkan banyak dukungan pemilih dalam pemilu. Demikian juga kepala daerah. Saiful menyebut gejala tunduknya legislator dan kepala daerah pada agenda kebijakan syari’ah. Karena, alasan dukungan elektoral merupakan karakteristik dari apa yang dikenal sebagai populisme Islam: keyakinan bahwa agenda-agenda dan kebijakan-kebijakan berbasis sentimen Islam yang diskriminatif terhadap non-Islam mendapat dukungan besar dari orang Islam. “Di tangan politisi demikian, Indonesia bisa menjadi negara syariah tanpa harus ada partai Islam yang kuat, tanpa harus dipimpin presiden yang berideologi Islam, tanpa harus mengubah UUD kita yang inklusif bagi kebinekaan itu, dan tanpa gerakan bersenjata seperti dilakukan DI/TII,” ungkapnya. “Bila populisme Islam dan Islamisasi Indonesia itu menguat maka kebinekaan yang menjadi fondasi negara-bangsa kita menjadi terancam,” pungkasnya. (din)