Menanti Peran Oposisi

Pertemuan Prabowo subianto dan Ketum Partai NasDem, Surya Paloh di Kertanegara, Kamis (25/4/2024) untuk menyatakan bergabung. (gemapos/dok. istimewa)
Pertemuan Prabowo subianto dan Ketum Partai NasDem, Surya Paloh di Kertanegara, Kamis (25/4/2024) untuk menyatakan bergabung. (gemapos/dok. istimewa)

Usai ditetapkan sebagai Presiden dan wakli presiden terpilih, nampaknya Prabowo maupun Gibran gencar sowan kesana kemari. Prabowo ke elit partai, Gibran ke kalangan bawah hingga bertemu Wapres Maruf Amin.

Seruan ajakan Bersatu dan kolaborasi pada pidato Prabowo saat penetapan di KPU, nampaknya langsung ditindak nyata olehnya. Surya Paloh sepertinya menyambut gembira ajakan itu. Bahkan dirinya mendatangi kediaman Prabowo di Kertanegara, untuk menyatakan dukungan dan bergabungnya Partai Nasdem dengan Pemerintahan yang akan dipimpin oleh Prabowo dan Gibran.

Sebelum surya paloh, usai penetapan KPU waktu lalu, langkah Prabowo dimulai dengan menemui Muhaimin Iskandar di Kantor DPP PKB, di Jakarta. Pertemuan tersebut  berujung pada kata “kerjasama produktif” dari Cak Imin.

Langkah tersebut dipandang berbagai pihak sebagai upaya Prabowo untuk menghimpun kekuatan dan meminimalisir keberadaan oposisi. Bahkan salah satu pihak menyebut pemerintahan Prabowo-Gibran tidak membutuhkan oposisi.

Ajakan Bersatu dan membuka ruang bergabung dengan dalil kolaborasi, dan “rekonsiliasi” sudah dilakukannya bahkan sejak lama. Bahkan sejak proses kontestasi pilres sedang berlangsung.

Bergabungnya Nasdem dan PKB semakin mengecilkan kekuatan oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran nantinya. Beberapa bahkan menyebut bahwa demokrasi di Indonesia tidak memerlukan Oposisi. Seperti kita ketahui, sejarah keberadaan oposisi di Indonesia sudah berlangsung sejak lama dan turut berperan sebagai kontrol dan penyeimbang kekuasaan dari pemerintah.

Oposisi telah ada ketika Presiden Sukarno (1945-1967) memimpin. Kala itu, Partai Masyumi yang dipimpin oleh M Natsir memposisikan dirinya sebagai oposisi pemerintah.

Akan tetapi, pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1966), peran oposisi meredup karena dimandulkan. Pasalnya partai oposisi seperti Masyumi dan Partai Murba bikinan Tan Malaka dibubarkan oleh Sukarno. Alhasil, Sukarno pada saat itu dikesankan sebagai rezim otoriter.

Pada masa Orde Baru ternyata peran oposisi juga sama mandulnya dengan masa Orde Lama. Pemerintah Soeharto bahkan kerap melakukan seleksi kepemimpinan di beberapa parpol. Salah satunya yang paling kontroversial ialah ketika Orde Baru mengintervensi Kongres PDI. Yang menjadi penyebab Dualisme kepimimpinan  PDI dan akhirnya memicu tragedi penyerangan kantor PDI, yang dikenal sebagai peristiwa 27 Juli (Kuda Tuli) 1996

Ketika BJ Habibie (1998-1999) menggantikan Soeharto, peran partai oposisi juga belum nampak tegas lagi. Sedangkan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) (1999-2001), oposisi juga tidak terlalu bermakna, mengingat seluruh potensi kekuatan politik nasional terserap dalam pemerintahan.

Baru ketika Gus Dur kerap mengganti menteri-menterinya dengan orang dekatnya, barulah beberapa partai berdiri sebagai oposisi dan mencoba menggoyang kursi Gus Dur. Hasilnya, Gus Dur pun dicopot usai sidang istimewa MPR.

Kemuidan saat pemerintah dipegang oleh Megawati peran oposisi kembali meredup. Karena pada saat itu partai-partai juga tidak secara tegas memposisikan dirinya sebagai oposisi.

Peran Oposisi baru kembali terlihat ketika pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung. Yakni ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat.

Pada masa kepemimpinan periode pertama, PDIP yang dipimpin Megawati menjadi partai yang secara tegas memilih menjadi oposisi yang banyak memberi kritik terhadap SBY. Peran oposisi PDIP berlanjut ketika SBY kembali terpilih menjadi Presiden pada tahun 2009.

Suara partai oposisi menjadi semakin lantang ketika Jokowi yang diusung oleh PDIP menjadi Presiden tahun 2014. Saat itu Jokowi berhasil mengalahkan Prabowo yang diusung oleh Gerindra.

Bahkan kelompok oposisi ini membentuk koalisi yang menamakan dirinya sebagai Koalisi Merah Putih (KMP). Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Gerindra menjadi wakil partai koalisi yang paling lantang dan pedas kritiknya terhadap pemerintahan Jokowi.

Kondisi berubah pasca pilpres 2019. Oposisi kembali melemah, ketika Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto diajak masuk dalam kabinet presiden Jokowi. Meskipun kritik masih tetap bermunculan, namun intensitas pengaruhnya tak terlalu signifikan. Mengingat kalkulasi kekuatan oposisi sangat terbatas, setelah hampir semua partai bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi.

Lalu bagaimana oposisi pasca pemilu 2024?

Seperti biasa, Prabowo dan pihak selalu mengatakan akan merangkul semua pihak termasuk yang kalah untuk bersama masuk dalam pemerintahan. Tawaran tersebut secara politik tentu sangat menggiurkan. Secara praktis, partai yang masuk pemerintahan tentu akan sangat menguntungkan.

Terlepas dari berbagai dalil umum seperti ‘persatuan’ atau ‘rekonsiliasi’ menjadi semacam satu-satunya alasan terbaik dalam menciptakan kemajuan negara.

Alasan tersebut juga menjadi dasar yang juga diungkap Surya Paloh dengan Partai NasDem. Begitu juga dengan PKB.

Selain itu, PPP juga nampaknya punya keingininan merapat dengan dalil “terhormat jika diajak bergabung.”

Lalu, siapa yang akan mengambil langkah tegas menjadi oposisi?

Para pakar dan pengamat menyebut partai yang paling mungkin dan siap menjadi oposisi yakni PDIP. Hal ini bukan tanpa alasan.

Kekuatan PDIP di Parlemen masih cukup besar. Kemudian tensi politik saat kontestasi pilpres apalagi setelah Jokowi memilih tempat lain juga menjadi alas

PDIP mungkin bisa menjadi oposisi. Meskipun, memandang politik tidak sesederhana itu. Bisa saja dramaturginya berubah.

Partai berlambang banteng itu juga punya pengalaman menjadi oposisi selama 10 Tahun dan menjalankan perannya sebagai penyeimbang serta kontrol pemerintahan SBY kala itu.

Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto sempat menyinggung soal pengalaman partainya menjadi oposisi periode 2004 – 2014, dan telah "banyak diapresiasi karena peran serta meningkatkan kualitas demokrasi".

Dirinya menyebut Bahkan, tugas di luar pemerintahan, suatu tugas yang patriotik bagi pembelaan kepentingan rakyat itu sendiri.

Selain itu, ada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang masih belum menyatakan diri sebagai oposisi. Meskipun sebelumnya, elit partai tersebut sempat mengajak partai pengusung 01 dan 03 untuk berada di luar pemerintahan.

Ya sekali lagi, politik itu tak sesimpel itu. Terbukti, Prabowo diundang dalam acara halalbihalal yang digelar pada sabtu 27 april 2024. Kemudian PKS juga menyebut membuka diri untuk bergabung dengan Prabowo-Gibran.

Pasalnya, PKS punya sejarah berkawan erat dengan Gerindra yang dipimpin Prabowo, bahkan bersama menjadi kekuatan oposisi di usai pilpres 2014.

Terlepas dari itu semua, selayaknya negara demokrasi, peran oposisi sangat tentu diperlukan.  Beberapa pakar menilai oposisi diperlukan untuk check and balance. Pemerintahan yang tanpa oposisi dianggap akan berpotensi korup, akan cenderung otoriter, dan bahkan cenderung melakukan abuse of power.  Keseimbangan politik penting diperlukan untuk bias saling mengoreksi. Dan kekuatan itu biasanya ada di parlemen dengan partai politik.

Catatan sejarah juga membuktikan bagaimana peran oposisi di Indonesia yang menganut sistem demokrasi. Dan kita juga tau bagaiman kondisi negara saat oposisi mandul dan lemah.

Namun tentu ada pandangan berbeda. Beberapa pihak ada yang menyebut bahwa demokrasi di Indonesia tak memerlukan oposisi. Alasannya adalah kestabilan politik menjamin kestabilan ekonomi. Apapun itu, kita hanya akan menanti partai politik yang akan mengaskan posisinya sebagai oposisi pemerintahan Prabowo subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Menanti fungsi kontrol dan penyeimbang kekuasaan yang kritis dalam mencegah kekuasaan berjalan ke arah yang buruk. (ns)