MPK Sebut Bansos Presiden Rugikan Masyarakat Jabodetabek Rp1,4 Triliun

Masyarakat Penegak Konstitusi (MPK) melayangkan class action kepada penyelenggara negara berkaitan dengan penyaluran bantuan sosial (bansos) saat masa pemilu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2024).  (foto:gemapos/MPK)
Masyarakat Penegak Konstitusi (MPK) melayangkan class action kepada penyelenggara negara berkaitan dengan penyaluran bantuan sosial (bansos) saat masa pemilu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2024). (foto:gemapos/MPK)

Gemapos.ID (Jakarta) - Menyoroti dugaan berbagai kecurangan, Masyarakat Penegak Konstitusi (MPK) melayangkan class action kepada penyelenggara negara berkaitan dengan penyaluran bantuan sosial (bansos) saat masa pemilu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat (19/4/2024). 

Menurut Koordinator MPK, Danang Girindrawardana, penyaluran bansos saat masa pemilu merugikan 40 jutaan masyarakat Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tanggerang-Bekasi) senilai Rp 1,4 triliun.

Danang menyebut hal itu disebabkan bansos yang didistribusikan dengan waktu dan tempat yang tidak tepat, sehingga terjadi kelangkaan bahan pangan khususnya beras. Menyebabkan harga beras ditingkat pedagang grosir meningkat dari Oktober 2023 hingga Februari 2024.

Danang menerangkan, bansos yang didistribusikan saat masa pemilu disalurkan pada daerah-daerah yang diduga hanya berkenaan dengan efek elektoral. Tidak berdasarkan kebutuhan dampak badai elnino sebagaimana yang pemerintah jelaskan.

"Jika alasannya karena badai el Nino, seharusnya pendistribusian bansos menyebar ke daerah-daerah rawan pangan di seluruh Indonesia. Bukan hanya daerah yang jumlah pemilihnya besar. Ini menguatkan dugaan, bahwa bansos karena badai elnino hanya alasan yang dibuat-buat," jelas Danang seperti dalam keterangan tertulisnya dkutip gemapos, Sabtu (20/4/2024). 

Lebih jauh, Jimmy Stevanius Mboe, SH, kuasa hukum dari MPK menyampaikan, gugatan class action ini ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia yang diduga melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu penyalahgunaan wewenang dalam kaitannya kebijakan penyalutan bantuan sosial yang salah tempat dan salah waktu.

"Dari dugaan ini, menurut perhitungan kami, masyarakat Jabodetabek mengalami kerugian sebesar Rp1,4 triliun," ujarnya. 

"Perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kekuasaan inilah yang kami gugat melalui class action, khususnya dalam hal penyaluran bansos yang tidak tetap sasaran. Baik dari segi penerima maupun dari sisi waktu pendistribusiannya," imbuhnya. 

Dia menilai Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, seharusnya peka tidak menggunakan kekuasaannya dalam penyaluran bansos dalam masa pemilu.

Bansos yang dipaksakan penyalurannya pada masa pemilu lalu, menurutnya telah menyebabkan kelangkaan beras pada medio Oktober 2023 hingga Februari 2024. Kelangkaan ditafsir menyebabkan harga beras di tingkat konsumen mengalami kenaikan sekitar Rp2.500,-.

Jimmy lantas memberikan perhitungan dengan mengalikan jumlah penduduk jabodetabek pada Desember 2023 dengan jumlah konsumsi beras per orang per hari dan rentang waktu terjadi distribusi yaitu Desember 2023-Februari 2024 serta dikalikan kenaikan harga beras periode tersebut.

Berikut ilustrasi perhitungan yang dimaksud: 28.000.000 jiwa (penduduk jabodetabek) x 0,22 Kg (Konsumsi per hari per orang) x 91 hari (rentang waktu distribusi bansos) x Rp. 2.505,- (kenaikan harga beras) = Rp.1.404.202.800.000,- (satu trilyun empat ratus empat milyar dua darur dua juta delapan ratus ribu rupiah)

"Dari kerugian itu, mewakili klien kami, kami menuntut Presiden Republik Indonesia untuk mengganti rugi immaterial sebesar Rp10.000, - (sepuluh ribu rupiah) dan meminta maaf secara terbuka kepada seluruh rakyat Indonesia," ujarnya.

"Kami juga menuntut agar pengadilan Jakarta Pusat meletakan sita jaminan atas Istana Negara," tutup Jimmy.

Seperti diketahui, Pilpres 2024 masih menyisakan banyak pekerjaan rumah. Berbagai pelanggaran etik terjadi sejak pendaftaran capres-cawapres dimulai. Kontroversinya keputusan Mahkamah Konstitusi no. 90/PUU-XXI/2023, hingga pelanggaran-pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu (KPU). 

Pelaksanaan pemilu juga tidak lepas dari kontroversi. Mulai dari dugaan kecurangan TSM (terstruktur, sistematis dan masif), hingga dugaan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang memenangkan pasangan calon tertentu dari penyelenggara negara. (rk)