Jauh dari Janji Penuntasan Kerja

jokowi amin
jokowi amin
Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Maruf Amin telah berusia satu tahun pada 20 Oktober 2020. Namun, sampai saat ini masih belum bisa mensejahterakan rakyatnya sesuai janji kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Padahal, Jokowi sebagai Presiden RI sudah memasuki periode kedua atau tahun keenam memerintah. Dia cenderung lebih banyak mengakomodasi kepentingan partai politik (parpol) dan pengusaha besar. Lihat saja bagaimana Jokowi merespon gelombang penolakan pengesahan Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (Ciptaker). Dia meninggalkan Jakarta memilih kegiatan lain yang bisa ditunda atau bahkan diwakilkan kepada menteri-menterinya. Pertimbangan keselamatan memang bisa dimaklumi atas situasi Jakarta dan sejumlah daerah yang memanas atas penolakan pengesahan Omnibus Law UU Ciptaker. Namun, itupun terjadi akibat tidak satupun dari unsur pemerintah yang menghampiri para demonstran. Mereka turun ke jalan bukan hanya akibat sejumlah usulannya tidak masuk dalam Omnibus Law UU Ciptaker. Namun, pembahasan ini belum melibatkan semua pihak yang terkait Omnibus Law UU Ciptaker. Apalagi, itu dilakukan secara cepat dibandingkan UU lain jelang masa reses DPR berakhir periode 2019-2020. Selama ini belum pernah terjadi gabungan sejumlah UU diselesaikan secara terburu-buru dibandingkan Omnibus Law UU Ciptaker. Sebelumnya, Jokowi meminta Omnibus Law UU Ciptaker dapat diselesaikan DPR selama 100 hari dalam Nota Pengantar APBN pada 16 Agustus 2020. Hal ini membuat banyak pihak geleng-geleng kepala lantaran pembahasan UU diminta terlalu cepat. Padahal, Omnibus Law UU Ciptaker menggabungkan banyak UU tidak hanya puluhan, tapi ini dari berbagai jenis UU. Tentu ini membutuhkan konsentrasi yang cukup. Tujuan pembentukan dan pembahasan Omnibus Law UU Ciptaker memang baik untuk mengharmonisasi dan mengatasi berbagai penumpukan aturan. Namun, ini tidak disertai dengan persiapan yang matang dai berbagai hal seperti materi, waktu, dan pembahas. OTT Lenyap Kejadian tadi merupakan sebagian kecil dari catatan hukum setahun Pemerintahan Jokowi dan Maruf-Amin. Sejumlah pengesahan UU lain juga diketahui tidak menampung aspirasi rakyat seperti UU No. 19/2019 Tentang Revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bagaimana Revisi UU KPK mempreteli kewenangan penyadapan yang bisa dilakukan tim penyidik pada waktu lalu. Pasalnya, langkah ini baru bisa dijalankan setelah mendapat persetujuan dewan pengawas (dewas). Prosedur tidak hanya merepotkan penyidik ketika ingin mengawasi terduga pidana kasus korupsi saja. Namun, ini bisa membuat terduga pidana kasus korupsi sedang diawasi KPK. Padahal, semakin banyak orang yang tahu sekaligus terlibat dalam penyadapan kemungkinan kebocoran semakin tinggi. Tidak heran, kondisi ini membuat penyidik KPK tidak bisa sering dan cepat melakukan operasi tangkap tangan (OTT). Dengan begitu sekarang KPK hanya mendalami kasus-kasus terdahulu di kepemimpinan sebelumnya. Lembaga ini tidak mampu melakukan penegakan hukum atas kasus-kasus baru yang tidak terjangkau oleh penegak hukum lain. Padahal, kehadiran KPK diharapkan sebagai pionir dan penerobos atas kasus-kasus yang tidak bisa ditangani tidak hanya akibat terhalang politik saja. Namun, penegak hukum ini mampu mengungkap kasus-kasus hukum baru yang tidak terpikirkan oleh pihak-pihak lainnya. Cuci Tangan Pemerintah semakin hari terkesan menutup mata atas kasus-kasus hukum yang terjadi di Tanah Air selama itu tidak berbenturan dengannya. Bahkan, mereka berusaha melindungi dirinya dari jeratan hukum atas tindakannya. Hal ini terlihat dari pembentukan UU No 2/2020 tentang lebih melindungi tindakannya atas kemungkinan jeratan kasus hukum. Pemerintah tidak mau disalahkan atas tindakannya yang dinilai pasti benar hanya di matanya sendiri. Padahal, solusi yang diketengahan belum bisa menjawab dampak pandemi Covid-19. Apalagi kebijakan ini lebih memprioritaskan penanganan Covid-19 dari sisi perekonomian ketimbang kesehatan. Mereka memaksakan ekonomi berjalan di tengah terus peningkatan kasus positif Covid-19. Hasilnya, jumlah ini masih tetap berada di kisaran 3.000-5.000 kasus positif Covid-19 setiap hari. Dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi sebenarnya tidak bisa diatasi pemerintah dengan keberadaan UU No. 2/2020. Semakin hari banyak perusahaan yang tutup akibat tidak meraih penghasilan yang berujung pemutusan hubungan kerja (PHK). Kalaupun, ada perusahaan yang tetap beroperasi tapi mengurangi gaji pekerjanya, pemerintah tidak memberikan subsidi ke semua pekerja. Hal ini hanya didasarkan perusahaannya mengikutsertakan dalam program kepesertaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Padahal, banyak pekerja yang tidak didaftarkan oleh tempat bekerjanya. Jadi, hal ini hanya menyentuh sebagian karyawan yang bekerja di suatu perusahaan. Banyak karyawan yang terpaksa bekerja di perusahaan yang tidak mengikutsertakan dalam program pemerintah lantaran terdesak belum memproleh pekerjaan di tempat lain. Selain itu mereka tergencet harus segera memperoleh pekerjaan guna memenuhi kebutuhan hidup. Program bantuan sosial (bansos) juga belum bisa dinikmati semua masyarakat yang terdampak Covid-19. Sebab, data yang digunakan bukan data terbaru pada 2020, tapi merupakan data lima tahun yang lalu. Tida heran, sebagian warga yang berkecukupan menerimanya, tapi warga yang tiba-tiba terdampak Covid-19 tidak memperolehnya. Hal ini bisa terjadi akibat tidak dilakukan pembaruan data atau ada permainan dengan pihak-pihak terkait. Hal yang lebih memprihatinkan adalah anggaran tenaga kesehatan yang tidak segera cair. Padahal, ini tidak hanya menopang kebutuhan mereka yang menangani pasien-pasien Covid-19. Namun, itu merupakan sebagian bentuk penghargaan atas kerja keras mereka mengurus pasien-pasien Covid-19. Birokrasi dijadikan kambing hitam penyebab kebijakan inii tidak dapat dilakukan pemerintah. Kehilangan Jati Diri Salah kaprah sudah biasa terjadi di pemerintahan Jokowi-Maruf Amin terlihat dari bagaimana Kementerian Pertanian (Kementan) memunculkan tanaman kayu putih untuk penanganan Covid-19. Padahal, ini merupakan tugas Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berupaya menggali potensi sumber daya alam (SDA) untuk penanganan Covid-19. Apalagi, ini dilakukan Kementan tanpa berkoordinasi dengan Kemenkes. Hal lainnya adalah Kementerian Pertahanan (Kemhan) mengurusi ketahanan pangan dengan menanam singkong. Ini merupakan tugas Kementan untuk melakukannya. Kementerian lain bukannya tidak controversial lihat saja Kementerian Kelautan Perikanan (KKP) yang mengizinkan ekspor benih udang. Padahal, ini akan mengeksploitasi pertumbuhan udang di Tanah Air. Apalagi, beberapa eksportir ternyata memiliki keterkaitand dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo yakni kakak dari Menhan Prabowo Subianto. Sontak saja masyarakat kembali disadarkan oleh pihak yang mengatasnamakan membela rakyat ketika duduk di pemerintahan akan lupa akan hal tersebut. Sementara itu pemberian izin operasional sejumlah pabrik yang mengakibatkan kemunculan klaster baru Covid-19. Mereka tidak melakukan protokol kesehatan (prokes) Covid-19 secara ketat. Penanganan pandemi Covid-19 memang amburadul lantaran kementerian perekonomian yang memimpinnya, bukan kementerian kesehatan. Padahal, apabila pandemi Covid-19 tertangani roda perekonomian perlahan bisa bergerak seperti semula. Gelombang Kedua Selain itu rencana penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020. Padahal, kasus positif Covid-19 masih terus menanjak di sejumlah daerah. Apalagi, kerumunan pemilih melakukan hak pilihnya tidak mungkin dihindari ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Mereka juga ingin menyaksikan pilihannya dalam perhitungan suara. Sebelumnya, kerumunan massa sudah terjadi sewaktu mereka mengantarkan calonnya mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) setempat. Mereka datang tidak menerapkan prokes Covid-19. Itu hanya sekelumit perjalanan setahun Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin semoga bisa menjadi bahan evaluasi untuk ke depan lebih baik. Indonesia membutuhkan pemimpin yang mau mendengar kritikan supaya terjadi perkembangan semakin baik negeri ini. (mam)