Korupsi PT Timah, Bukti Ketamakan dan Borok Dunia Tambang

Ketamakan manusia ditengah kemajuan peradaban semakin terlihat jelas. Kemajuan bangsa semakin hari menuju level yang lebih tinggi. Akan tetapi kemajuan teknologi dan peradaban justru menjadikan keadaban terhadap lingkungan dan sesamanya makin menurun. Salah satu contoh fakta yang ramai hari ini, kerusakan lingkungan akibat Penjarahan timah ilegal karena kongkalikong. Kegiatan tersebut dilakukan secara terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling mengerahkan traktor, kapal-kapal pengisap, dan armada truk-truk besar. Tambang-tambang ilegal dibiarkan beroperasi dengan aman, tanpa terusik karena kuatnya backing yang mereka miliki.

Bobroknya dunia tambang timah terungkap usai Kejaksaan agung (Kejagung) mengungkap dugaan korupsi PT Timah yang merugikan negara hingga Rp 217 triliun. Hal tersebut menjadi salahsatu alasan kasus tersebut menjadi perhatian publik secara masif. 

Dan kasus tersebut sejatinya hanya puncak dari gunung es kusutnya tata kelola kekayaan masif tambang Indonesia. Korupsi yang melibatkan badan usaha milik negara tambang bukan baru kali ini terjadi. Sebelumnya, PT Pertamina, PT Antam, PT BA, hingga PT PLN juga menjadi langganan kasus korupsi, melibatkan pelaku mulai dari korporasi swasta hingga perorangan, serta menyeret pejabat teras kementerian, hingga pimpinan tertinggi BUMN tambang, politisi, dan kepala daerah. modusnya beragam, dari mulai dari kongkalikong dalam pemberian izin usaha pertambangan (IUP), penambangan tanpa izin, penyalahgunaan dana reklamasi, hingga manipulasi data ekspor dan penghindaran pajak. Kejaksaan Agung pernah menyebut, setidaknya ada 14 modus operandi.

Kasus PT Timah mendapat sorotan luas karena nilai kerugian negara yang masif, sekitar sepersepuluh nilai APBN dan menyeret nama crazy rich Pantai Indah Kapuk, Helena Lim, dan suami artis terkenal Sandra Dewi, Harvey Moeis. Dugaan kerugian Rp 271 triliun itu baru kerugian ekologis, belum kerugian dari sisi pendapatan negara dan lainnya.

Keterlibatan orang dalam terlihat dari masuknya eks dirut, direktur keuangan, dan direktur operasional PT Timah dalam daftar tersangka. Dari pemeriksaan Kejagung, terungkap peran sentral Harvey dalam jalinan rumit kasus pemufakatan jahat lewat modus pengakomodasian tambang ilegal di lahan PT Timah. Dari asil pemeriksaan di lapangan dan citra satelit. Aktivitas pertambangan di kawasan hutan dan nonhutan oleh PT Timah Tbk mencapai 170.363 hektare.

Padahal, total luasan lahan yang mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) hanya 88.900 hektare. Artinya, 42% aktivitas tambang di kawasan lahan milik PT Timah berstatus ilegal. 

Melihat angka kerugian ekologis yang sangat fantastis, tentu saja kerugian dari sisi pendapatan negara juga berbanding lurus. Hal itu mengingatkan kembali soal pernyataan mantan Menkopolhukam, Mahfud MD yang menyinggung bobroknya dunia tambang di Indonesia. Pernyataannya kala itu  menyebut jika korupsi di sektor pertambangan dibrantas, maka setiap warga negara Indonesia bisa memperoleh 20 juta rupiah setiap bulan. Jika hal tersebut benar, maka bisa dibayangkan berapa jumlah uang yang hanya diterima oleh segelintir orang. Terang saja, kesenjangan masih sangat kentara di negeri yang katanya kaya raya. Ketamakan segelintir orang jadi sebab hancurnya ekologis dan banyaknya hak yang tak diterima.

Terlepas dari kasus PT Timah ini, kondisi duni tambang hari ini sudah sedikit demi sedikit membuka boroknya yang lama tersembunyi. Seperti halnya guning es, kasus PT Timah bisa saja bagian kecil dari puncak buruknya pengawasan pengelolaan kekayaan alam, yang seharusnya bisa dinikmati oleh seluruh warga negara. Hal ini terus menimbuklkan pertanyaan, apakah Undang-Undang dasar 1945 hanya dijadikan sebagai slogan yang hanya membuat rakyat yakin mereka dapat bagian? Atau hanya sebagian kecil yang berbagi kue dari kerusakan alam yang ditimbulkan?

Mari kita tunggu, apakah gunung es dari boroknya korupsi dunia tambang bisa diusut tuntas hingga ke bagian pangkalnya.