Made dan Politik Gentong Babi

Ilustrasi (gemapos)
Ilustrasi (gemapos)

Kembali ramai isu strategi politik ‘gentong babi’ yang disebut dilakukan oleh Jokowi dalam upaya meraih suara untuk memenangkan salah satu pasangan calon (paslon) dalam Pilpres 2024. Isu ini berkaitan dengan Jokowi yang disebut membagikan bansos demi meraih suara untuk memenangkan paslon nomor urut 2, Prabowo – Gibran.

Kenyataannya, strategi politik itu merupakan bentuk umum yang dilakukan oleh politisi di semua tingkatan. Jika isu tersebut ramai dalam kancah perpolitikan nasional,  tulisan ini akan memaparkan “curhatan” seorang pemuda tentang praktik politik sejenis yang berpengaruh pada kondisi masyrakatnya di tingkatan paling bawah, yakni pemilihan DPRD Kabupaten/Kota.

Sebelumnya, perlu diketahui apa itu Pork Barrel Politic atau politik gentong babi. Sederhananya, strategi politik ini merupakan salah satu politik distribusi dengan menyalurkan sumber daya seperti anggaran dalam bentuk hibah dan lain sebagainya kepada daerah pemilihan atau daerah tertentu oleh elit. Biasanya politik gentong babi lebih menggunakan kebijakan-kebijakan populis yang justru seringkali malah mengabaikan azas manfaat dari suatu kebijakan. Dengan adanya progam populis tersebut, penguasa dapat menanamkan romantisme dan jejaring politik secara efektif dan efisien kepada masyarakat (Djati, 2013). Masyarakat kemudian memiliki persepsi bahwa pihak elit yang memiliki kuasa berhasil mengeluarkan kebijakan populis yang dapat memuaskan pemilih.

Praktik politik gentong babi ini juga menimbulkan personalisasi terhadap barang publik, seolah elit merupakan ratu adil yang benar-benar memperhatikan rakyatnya. Padahal dibalik hal tersebut ada kepentingan politis untuk menjaga loyalitas dan eksistensi elit.

Praktik sejenis itu merupakan rahasia umum yang terjadi di tengah masyarakat, bahkan oleh politisi di semua lapisan. Dari yang level tertinggi hingga yang terendah. Salah satunya, terjadi di wilayah pemilihan legislatif di tingkat kabupaten/kota.

Adalah seorang pemuda dari sebuah Desa di Pelosok Bali. Pemuda yang sebut saja Made (nama anak kedua orang Bali) ini merasakan betul bagaimana strategi politik semacam Gentong babi dan Klientalisme dilakukan oleh petahana, mempengaruhi kondusifitas masyarakatnya. Made yang juga tokoh pemuda dan mantan Ketua Sekaa Teruna Teruni atau STT (Organisasi pemuda Desa Adat) menyebut strategi politik tersebut bahkan dimaknai seakan ada kontrak politik yang mewajibkan masyarakat untuk memilihnya karena pernah dibantu.

“Sebagai pemuda, saya paham kondisi ini. Sudah seperti kebiasaan, bahwa masyarakat di Banjar (setingkat RT/RW di Bali) sering menjalin kontrak politik, apalagi dengan calon yang pernah menjabat. Dasarnya, kita pernah dibantu dan akan dibantu jika kembali menang,” tutur Made.

Mulanya, Calon DPRD Kabupaten/Kota sebut saja Pak Dewan ini memang pernah menggelar reses di Banjar si Made sekitar akhir tahun 2022. Dimana saat itu masyarakat termasuk pemuda menyampaikan kebutuhan masing-masing saat acara tersebut. Dan beberapa bisa dipenuhi. Selayaknya politisi, bantuan tersebut diklaim sebagai upaya pribadi untuk membantu masyarakat, dan meminta komitmen dukungan untuk maju Kembali di tahun 2024 termasuk kepada Prajuru Banjar Adat (pejabat adat di tingkat Banjar). Bahkan sampai membuat video.

Made menyebutkan kerumitan semakin menjadi ketika ternyata ada pemuda lokal dari Banjarnya mencalonkan diri dalam kontestasi DPRD Kabupaten/Kota lewat partai yang lain. Kondisi ini kemudian menyebabkan dilema kemana arah suara akan difokuskan. Karena di satu sisi sudah ada komitmen, disisi lain ada pemuda lokal yang butuh dukungan.

“Sejatinya saya kaget, karena temen saya ada yang mencalonkan diri. Memang dia merantau ke tempat lain, tapi keluarganya ada di Banjar ini dan dia masih ikut jadi krama adat (warga adat) di Banjar ini,” tutur Made.

Made sebagai tokoh pemuda kemudian menceritakan dirinya dipanggil untuk menghadap Kelihan Banjar (ketua Banjar) dan tokoh adat. Pertemuan tersebut pada dasarnya meminta Made untuk mendorong pemuda lainnya memilih calon DPRD Petahana yakni Pak Dewan, meskipun bukan warga lokal. Dengan alasan pernah dibantu dan sudah ada komitmen untuk memilihnya kembali. Alasan lainnya juga  mempertimbangkan hitung-hitungan kemungkinan Pak Dewan untuk menang cukup besar. Tokoh adat tersebut juga menyampaikan bahwa jika memilih pemuda lokal tadi, ibarat ‘buang-buang suara’, karena kemungkinan menangnya kecil. Lebih baik memilih yang punya kemungkinan menang tinggi. 

Made kemudian menuturkan, Kelihan Banjar yang juga ikut berbicara bahkan menyebut Pak Dewan akan kecewa jika hanya dapat suara sedikit di Banjarnya. Dan selanjutnya tidak akan dibantu jika beliau menang Kembali sebagai anggota DPRD.

“Selain alasan pernah dibantu dan komitmen, Kelihan Banjar bahkan mengatakan takut tidak dibantu lagi jika kita tidak memilihnya. Padahal menurut saya bantuan itu kan murni hak rakyat, reses kan dana pemerintah, kok takut? Itu yang buat saya bingung,” ucapnya.

Pernyataan yang paling tidak masuk akal menurut Made lagi adalah adanya ancaman dari Kelihan Banjar. Ancaman tersebut berupa menyetop bantuan dana dari krama Banjar kepada Sekaa Teruna-Teruni (STT). Bahkan jika ada bantuan dari pihak luar seperti anggota DPRD, Kelihan Banjar akan menghalangi.

“Itu ancaman sebenarnya tidak masuk akal. Tidak ada hubungannya. Kenapa sampai ke urusan internal yang sudah menjadi kebiasaan sejak dulu di Banjar. Sampai – sampai hal ini mengorbankan teman-teman pemuda. Saya tidak bisa banyak menjawab banyak, kulturnya masih senioritas, kalau saya menjawab berarti melawan. Dan kami selalu dianggap tak paham. Menurut saya ancaman tersebut tidak perlu. Jadinya saya curiga, apa ada semacam kesepakatan (antara Kelihan dengan pak Dewan) diluar komitmen waktu itu?” kata Made.

Setelah ditelusuri, memang ternyata ada kepentingan dan deal lainnya ketika berhasil menang dan meraih suara tinggi di Banjarnya Made. Pemuda yang sebenarnya paham politik ini tidak mampu berbuat banyak, karena posisinya serba salah. Karena kenyataannya, kultur seperti itu menjadi sebuah kebiasaan yang masih sulit diperbaiki.

Made juga dilema, antara memilih teman pemuda yang maju  sebagai kawan atau mengikuti arahan Kelihan Banjar dan tokoh adat yang punya kuasa dan pengaruh umtuk memilih Pak Dewan. Alih – alih mengikuti asas pemilu yang bebas jujur dan adil, yang menurut Made sulit diterapkan. Dan akhirnya, strategi yang ramai disebut Gentong Babi itu terbukti masih ampuh menggerakan arah pilihan.

Melihat cerita Made, kondisi politik gentong Babi ataupun Klientalisme sudah mengakar sampai pada tataran terbawah. Bahkan bermanifestasi sebagai sebuah kontrak politik yang mewajibkan loyalitas untuk memilih si pemberi. Asas pemilu yang harusnya Luber dan jurdil ini hanya terlihat sebagai sebuah slogan hiasan dinding yang tak terbaca. Pemilu kemudian menjadi lahan untuk membangun kontrak – kontrak loyalitas pragmatis. Kesepakatan yang biasanya terjalin oleh politisi dengan tokoh yang punya pengaruh di kantong-kantong suara. Terlebih kantong suara yang ada pada masyrakat dengan hierarki adat yang kuat.

Cerita Made memberikan gambaran yang bisa mewakili banyak pihak, bagaimana proses menentukan suara tak sebebas asas pemilu. Pilihannya terbatas, ikut arahan penguasa yang membuat logika tak berdaya, atau memilih karena hitung-hitungan pragmatis semata.

Pengunaan diksi ‘babi’ yang merupakan seekor binatang ini seolah mengingatkan kita pada sindiran Aristoteles, dimana manusia pada dasarnya adalah binatang politik.. Tapi apakah politik membuat manusia yang katanya cerdas jadi “se-binatang” itu dengan sesamanya?

(Redaksi)