PPP Tak Lolos Parlemen, Suara Terbuang Makin Tinggi

ilustrasi (gemapos)
ilustrasi (gemapos)

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan dan menetapkan Hasil Pemilihan Umum 2024 pada 20 Maret lalu. Ketetapan hasil Pemilu itu kemudian yang kemudian dituangkan dalam Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024. Salah satu keputusan tersebut menyebutkan, hanya ada delapan partai politik yang bisa masuk ke dalam tahap konversi suara menjadi kursi di DPR. 

Kondisi tersebut menunjukkan terjadi pengurangan jumlah partai politik yang lolos ke parlemen jika dibandingkan dengan pemilu 2019. Berkurangnya jumlah partai politik yang lolos ambang batas parlemen nasional melahirkan dampak makin tingginya suara sah yang terbuang dan tidak terkonversi dalam kursi DPR.

Delapan partai politik tersebut telah memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 4 persen secara nasional, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang ditetapkan sebagai pemenang pemilu legislatif dengan raihan suara mencapai 16,72 persen.

Diikuti kemudian Partai Golkar dengan 12,29 persen suara. Di posisi ketiga dan keempat yang sama-sama meraih suara di atas 10 persen adalah Partai Gerindra dengan raihan 13,22 persen dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 10,62 persen suara.

Sementara itu, empat partai politik lainnya meraih suara di bawah 10 persen, yakni Partai Nasdem (9,66 persen), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 8,42 persen, Partai Demokrat (7,43 persen), dan Partai Amanat Nasional (PAN) dengan 7,24 persen suara.

Delapan partai politik yang lolos ambang batas parlemen ini adalah partai politik petahana yang selama ini memang sudah masuk dalam parlemen sejak partai politik tersebut mengikuti pemilu.

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi korban dari ketatnya persaingan mencapai ambang batas parlemen. PPP yang termasuk partai lama dan 11 kali menjadi peserta pemilu akhirnya tersingkir karena tak mampu mencapai ambang batas 4 persen atau hanya meraih 3,87 persen suara nasional. Tentu ini menjadi sebuah hantaman serius terhadap partai yang telah berusia setengah abad ini.

Fenomena ini kembali menegaskankan bahwa ambang batas parlemen yang tinggi berbanding lurus dengan suara sah nasional yang makin banyak terbuang.

Berdasrkan catatn Litbang Kompas, sejak diterapkan ambang batas parlemen di Pemilu 2009 dengan angka 2,5 persen, total ada kenaikan lebih dari dua kali lipat suara terbuang. Jika di Pemilu 2004 suara terbuang mencapai 7,5 juta, di Pemilu 2009 jumlahnya mencapai 19,1 juta suara pemilih.

Selain faktor mulai diberlakukannya ambang batas, jumlah partai politik peserta pemilu yang meningkat juga memberikan konstribusi. Pemilu 2009 diikuti 38 partai politik, naik dibandingkan dengan Pemilu 2004 yang hanya diikuti 24 partai politik.

Kendati demikian, jumlah suara terbuang sempat menurun secara persentasi di pemilu 2014. Dengan jumlah partai politik yang jauh lebih berkurang berdampak pada pengurangan suara terbuang. Di pemilu yang hanya diikuti 12 partai politik ini, suara terbuang tercatat 2,9 juta atau menurun 84 persen dibandingkan dengan jumlah suara terbuang di Pemilu 2009.

Namun, ketika ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 4 persen di Pemilu 2019, jumlah suara terbuang kembali meningkat. Di pemilu di mana model serentak nasional mulai pertama kali digelar ini, jumlah suara terbuang mencapai 13,5 juta atau naik 3,5 kali lipat dari jumlah di Pemilu 2014.

Jumlah suara terbuang kembali meningkat di Pemilu 2024 ini. Selain ambang Batas 4 persen, jumlah partai politik peserta pemilu juga bertambah. Jika di Pemilu 2019 jumlah partai tercatat 16, di Pemilu 2024 ini bertambah menjadi 18 partai politik.

Dari delapan partai politik yang tidak memenuhi angka ambang batas parlemen tersebut, tercatat total suaranya mencapai 16,1 juta. Jumlah inilah yang potensial menjadi suara terbuang dan tidak terwakili dalam parlemen. Jumlah suara terbuang di Pemilu 2024 ini tercatat naik sekitar 18,2 persen dibandingkan dengan Pemilu 2019.

PPP menjadi penyumbang suara terbuang terbanyak dari delapan partai politik yang tidak lolos ambang batas parlemen.

Kegagalan mencapai ambang batas ini juga menjadi sejarah kelam bagi PPP karena sebagai partai politik lama dengan usia lebih dari setengah abad, partai ini juga memiliki pemilih yang loyal. Tidak hanya itu, kegagalan mencapai ambang batas juga menutup peluang calon anggota legislatif PPP yang sudah berjuang di lapangan untuk menggaet suara pemilih.

Sebut saja salah satunya Ahmad Baidowi. Caleg PPP di daerah pemilihan (dapil) Jatim XI yang meliputi wilayah Madura ini mendapatkan dukungan sebanyak 355.319 suara. Suara yang diraihnya ini tercatat masuk dalam caleg nomor tiga peraih suara terbanyak nasional dibawah Said Said Abdullah dari PDI-P dan Dedi Mulyadi, caleg dari Partai Gerindra di dapil Jawa Barat VII.

Pada akhirnya lonjakan suara terbuang yang makin meningkat di Pemilu 2024 ini memberikan satu pesan bahwa semakin banyak jumlah pemilih yang tidak terwakili di dalam parlemen. Bagaimanapun representasi atau keterwakilan menjadi salah satu nilai dalam demokrasi yang tidak bisa diabaikan.

Putusan Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu yang memerintahkan pembuat undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, untuk mengubah ambang batas parlemen, nampaknya menjadi secercah harapan bagi partai yang sulit lolos ambang batas. Akan tetapi, putusan MK itu hanya pembuka, namun akan ditentukan oleh pembuat Undang-undang. Apakah akan benar-benar dihilangkan, atau hanya dikurangi.