Pentingnya Masyarakat Memiliki Peta Bahaya Tsunami

Geohazard #3 Tsunami Hazards In Indonesia: a workshop to discuss recent events, their impact and their mitigation, Bandung pada Jum’at (15/3). (foto:gemapos/BRIN)
Geohazard #3 Tsunami Hazards In Indonesia: a workshop to discuss recent events, their impact and their mitigation, Bandung pada Jum’at (15/3). (foto:gemapos/BRIN)

Gemapos.ID (Jakarta) - Periset dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi (PRKG) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa menekankan perlunya menetapkan wilayah bahaya tsunami dan masyarakat perlu memiliki peta bahaya tsunami. Terlebih lagi beberapa wilayah di Indonesia pernah mengalami tsunami, sehingga masyarakat harus lebih waspada dalam menghadapi risiko ketika terjadi bahaya tsunami.

Dikatakan Rahma, terkait kesiapan tsunami dalam kerangka piloting UNESCO-IOC (Intergovernmental Oceanographic Commission) Tsunami Ready, ada beberapa indikator yang harus dilakukan. Salah satunya agar ditetapkannya wilayah bahaya tsunami, dan masyarakat memiliki peta bahaya tsunami.

Hal ini disampaikan Rahma saat gelaran Geohazard #3 Tsunami Hazards In Indonesia: a workshop to discuss recent events, their impact and their mitigation. Kegiatan ini merupakan milestone dari kerja sama antara PRKG BRIN dan British Geological Survey (BGS), yang dilaksanakan di Bandung pada Jum’at (15/3).

Wanita yang akrab dipanggil Rahma, adalah Peneliti Ahli Muda sekaligus Ketua Kelompok Riset Komunikasi Sains, Risiko dan Resiliensi Gempa Tsunami BRIN. Dirinya memaparkan tentang riset dan inovasi terkait Building (Geo) Science to policy and Action Nexus in strengthening Earthquake and Tsunami Resilience in Case of Archipelagic and Diverse Country: Indonesia.

“Dengan pembuatan peta risiko tsunami dan peta jalur evakuasi berbasis teknologi foto udara, bertujuan untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat pesisir terhadap tsunami. Tentunya dalam rangka meminimalkan korban jiwa dan kerugian ekonomi,” kata Rahma dikutip dalam siaran resmi BRIN di Jakarta, Selasa (19/3/2024).

Untuk membangun penguatan kesiapsiagaan tsunami, Rahma menekankan semua pihak untuk melakukan standarisasi penerapan sistem peringatan dini tsunami di daerah rawan bencana. Dengan metode, persyaratan, dan prosedur praktik terbaik, serta meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat di daerah rawan tsunami.

“Tentunya substansi penguatan kesiapsiagaan tsunami ini meliputi Risk Assessment, Penyebaran dan Komunikasi Pengetahuan, Layanan Pemantauan dan Peringatan, Response Capability, Komitmen otoritas dan masyarakat terhadap keberlanjutan Sistem Peringatan Dini,” himbaunya.

David Tappin salah seorang nara sumber dari BGS menyatakan, biasanya tsunami dipelajari oleh para seismolog karena sumber gempa bumi yang dominan.

“Namun, sejak akhir tahun 1980-an, para ahli geosains mengungkapkan bahwa gempa bumi bukan satu-satunya sumber tsunami. Melainkan longsoran sedimen di bawah laut maupun permukaan atau subaerial juga merupakan sumber dari tsunami,” tutur David.

Menurut David, gempa bumi dapat menghasilkan tsunami secara tidak langsung melalui tanah longsor koseismik. Tsunami yang terutama disebabkan oleh perpindahan komponen vertikal dasar laut dari bawah ke atas, pada wilayah perpindahan dasar laut yang lebih luas cenderung menghasilkan tsunami dengan jangka waktu yang lama.

“Gaya dorong dan patahan normal merupakan sumber langsung tsunami dibandingkan strike slip atau sesar yaitu gaya gesekan yang membuat lempeng-lempeng saling bergerak. Dorongan dan patahan yang jatuh menukik tajam adalah yang paling utama penyebab tsunami,” tuturnya.

David Tappin juga menambahkan, berdasarkan besarannya, tidak semua gempa menimbulkan tsunami. Menurutnya, tsunami yang berbahaya disebabkan oleh gempa bumi yang lebih besar dari 7 magnitudo. Bahkan untuk peristiwa tsunami yang besar kekuatan gempanya adalah pada 8 sampai 9 magnitudo.

"Tiga proses yang harus diperhatikan berdasar dampaknya dari tsunami adalah sumber pembuatan gelombang, perbanyakan gelombang melalui lautan. Kemudian run-up atau ketinggian tsunami pada titik inundasi maksimum di daratan, dihitung dari referensi muka air laut di darat," tegas David.

Menurut laman gawpalu.id, inundasi adalah jarak horizontal terjauh yang dijangkau oleh gelombang tsunami dari garis pantai. Semakin landai pantai maka jarak jangkauan inundasi semakin jauh dan panjang dari garis pantai.

Kepala Pusat Riset Kebencanaan Geologi BRIN Adrin Tohari dalam sambutannya menyebutkan, bencana tsunami perlu dipelajari dengan baik sehingga dapat memberikan peringatan dini dan mengedukasi masyarakat. Sehingga jika terjadi bencana tsunami jatuhnya korban dapat diminimalisir.

“Kita juga harus memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa Indonesia termasuk wilayah yang rawan terjadinya bencana termasuk bencana tsunami juga penting sehingga meningkatkan kewaspadaan yang tinggi. Paham mengenai bahaya tsunami, seperti bagaimana terjadinya, bagaimana dampaknya, dan bagaimana mitigasinya,” tuturnya.

Dalam riset kebencanaan yang mampu menunjukkan sumber suatu bencana sangat penting, karena dari sumber itulah dapat ditentukan teknologi mitigasinya. Demikian juga dengan bencana tsunami dimana dampak yang ditimbulkan dari bencana ini sangat besar. Selain terjadi kerusakan sarana dan prasarana, bahkan korban jiwa. Bencana tsunami pada akhirnya memberikan dampak terhadap perekonomian bahkan kemanusiaan.

Para nara sumber dari PRKG BRIN menyampaikan berbagai hasil risetnya, antara lain Peneliti Ahli Utama Eko Yulianto dan Semeidi Husrin. Perekayasa Ahli Utama Dwi Abad Tiwi, Peneliti Ahli Madya Purna Sulastya Putra, dan Peneliti Ahli Muda Nuraini Rahma Hanifa.

Hadir pula Vulkanolog Mirzam Abdurahman nara sumber dari ITB, dan dari UNPAD ada Teuku Yan Waliana Muda Iskandarsyah Dosen Fakultas Teknik Geologi. (*)