Ramai Soal AWK, Antropolog: Hukum Adil Berbau SARA Bukan Hanya Soal AWK

Antroplog Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, INY. Segara. (foto:gemapos/dok.pribadi)
Antroplog Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, INY. Segara. (foto:gemapos/dok.pribadi)

Gemapos.ID (Jakarta) - Ramai menjadi perbincangan publik perihal keputusan Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)  RI yang memberhentikan Arya Wedakarna atau AWK, sebagai anggota DPD RI.

Antroplog Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, INY. Segara, menilai keputusan pemberhentian AWK sebagai anggota DPD RI harus dihormati sebagai sebuah proses hukum. 

"Pemberhentian tersebut tentu sudah melalui mekanisme yang berlaku di BK DPD RI. Semua pihak harus menghormati itu," ungkap Segara saat dihubungi oleh Gemapos, Sabtu (3/2/2024).

Kendati demikian, Segara menyebut AWK juga punya hak untuk merespon hingga mengajukan banding atas keputusan itu. 

"Sebagai warga negara, AWK tetap punya hak konstitusional untuk merespon, bahkan menolak keputusan (pemberhentian) itu. Penolakan AWK terhadap keputusan itu juga harus dihormati semua pihak," ucapnya.

Dosen yang juga mengajar komunikasi politik ini, menyarankan penolakan AWK dilaksanakan melalui proses hukum yang benar. Segara menilai pertimbangan matang perlu mengingat tahun politik rentan memanas. Sehingga dapat mencegah pihak tertentu memanfaatkan situasi tersebut dan menimbulkan konflik yang berkepanjangan, khususnya di Bali.

"Yang terpenting, penolakan dan perlawanan AWK juga harus dilakukan melalui mekanisme yang benar secara hukum. Terlebih saat situasi politik menjelang pencoblosan terasa menghangat," tutur Segara.

"Pesan itu penting disampaikan karena dalam situasi seperti ini, jangan sampai ada upaya politisasi dan provokasi yang berakibat kontroproduktif untuk membangun suasana kondusif, khususnya di Bali," imbuh Segara.

Segara yang juga guru besar Antropologi ini mengatakan terdapat pelajaran penting dari kasus AWK ini. Menurutnya, tujuannya mungkin benar, tetapi perlu cara penyampaian yang juga bijaksana dan bisa diterima baik oleh publik yang multikultural.

 "Peristiwa ini bisa menjadi pelajaran agar pejabat publik berhati-hati dan bijaksana dalam mengeluarkan pernyataan yang sensitif dan kontroversial. Bisa saja maksud AWK itu benar tetapi diksi yang digunakan juga harus sejalan dengan kaidah dan norma yang berlaku umum. Bukan berdasarkan selera pribadi yang dipaksakan ke publik yang majemuk," ujarnya.

"Hal ini bukan hanya soal AWK, tapi semua pejabat publik bahkan semua orang. Terlebih menyangkut urusan private yang dianut oleh agama, suku dan etnis tertentu," tegas Segara.

Segara kemudian juga menyinggung soal tidak ada yang boleh terlalu kebal dan kuat dimata hukum. Baik itu dari pejabat publik maupun kelompok mayoritas.

Menurutnya masih banyak kasus serupa dari pihak lainnya yang tidak mendapat sanksi hukum sesuai ketentuan konstitusi. Segara menilai hukum dan penegak hukum harus berlaku adil, terlebih soal diskriminasi, ujaran kebencian dan isu SARA.

"Pelajaran lainnya adalah tidak boleh dan tidak ada orang yang imun dari hukum hanya karena ia pejabat publik atau mereka yg berasal dr golongan mayoritas. Hukum yang adil juga harus dikenakan kepada siapa saja tanpa kecuali yang melakukan tindakan diskriminasi, rasis dan ujaran kebencian berbau SARA. Jadi ini bukan hanya soal AWK saja, tapi juga pihak lainnya yang masih merasa kebal hukum," tegas Segara lagi.

Segara menjelaskan bahwa masyarakat global selalu memperjuangkan kesetaraan manusia diatas segala perbedaan. Maka menurutnya, tindakan diskriminasi dan rasisme akan otomatis menimbulkan gejolak. Karena hal tersebut bertentangan dengan keinginan publik mencipatakan kondusifitas bermasyarakat.

"Di tengah etika global yg menuntut kesetaraan antarmanusia, hadap bersama sebagai saudara, menjunjung pluralisme dan penghormatan atas HAM, maka memilih jalan lain dengan justru melakukan diskriminasi dan rasis akan menghadapi penolakan dari banyak orang. Tindakan seperti itu juga akan dianggap aneh dan Ganjil," pungkas Segara.

Sebelumnya, Badan Kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI resmi memberhentikan anggota DPD RI Dapil Bali, Arya Wedakarna (AWK). AWK diberhentikan atas dasar laporan aduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran tata tertib dan kode etik tentang ucapan bernada diskriminasi.

 

 

 

 

Wakil Ketua BK DPD RI Made Mangku Pastika mengungkapkan pemberhentian AWK berdasarkan Pasal 48, ayat 1 dan 2 Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2021 Badan Kehormatan DPD RI. (ns)