Lestarikan Warisan Seni Ludruk Melalui Kajian Perlindungan Sosial

Ilustrasi - Pergelaran Ludruk RRI Surabaya, Lakon Juragan Pande. (foto:gemapos/RRI)
Ilustrasi - Pergelaran Ludruk RRI Surabaya, Lakon Juragan Pande. (foto:gemapos/RRI)

Gemapos.ID (Jakarta)Seni pertunjukan ludruk merupakan salah satu dari beragam budaya Indonesia warisan leluhur. Seni tradisional asal Jawa Timur ini bukan sekadar hiburan, namun juga representasi kompleksitas kehidupan sehari-hari yang diungkapkan melalui harmoni tari, musik, dan komedi.

Demikian cerita pengantar yang disampaikan Syahmida R. Arsyad, saat memandu diskusi publik ”Ludruk, Tradisi dan Isu Perlindungan Sosial Pekerja Seni di Indonesia”. Kegiatan tersebut diselenggarakan Pusat Riset Kependudukan (PRK), Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH), Jumat (19/1) lalu.

 

 

Di balik pesonanya, para pekerja seni ludruk terus berjuang dan bertahan di tengah arus modernisasi. Mereka menghadapi tantangan besar terkait perlindungan sosial.

Lalu Syahmida mengungkap, Ludruk sebagai teater rakyat yang memadukan unsur seni pertunjukan, musik, dan komedi, telah menjadi bagian integral dari budaya Jawa Timur selama berabad-abad. Namun, kemajuan teknologi dan perubahan sosial membawa dampak signifikan pada kesinambungan seni ini.

 

 

Selanjutnya, isu perlindungan sosial bagi pekerja seni, termasuk mereka yang terlibat dalam ludruk, kini telah menjadi perhatian nasional. Sejumlah kelompok riset seni tradisional dan budayawan berupaya memperjuangkan hak-hak pekerja seni di tingkat pemerintah dan masyarakat.

Salah satunya Kelompok Riset (Kelris) Kemiskinan, Ketimpangan dan Perlindungan sosial pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang perhatiannya berfokus pada riset tersebut.

Mewakili Kepala PRK, Yanu Endar Pasetyo selaku Ketua Kelris tersebut menyampaikan, ketimpangan dan perlindungan sektor informal, khususnya pelaku seni yang marjinal dalam seni ludruk perlu diperhatikan.

Ia mengungkapkan, Kerlis yang dikoordinirnya memiliki peran penting dalam mengidentifikasi masalah, merumuskan solusi, dan mendorong kebijakan yang lebih inklusif.

"Pada kenyataannya, ludruk sering kali dimainkan oleh pelaku seni informal yang berada di lapisan masyarakat marjinal,” ungkap Yanu.

Maka diskusi yang dilakukan tersebut sebagai upaya untuk menggali lebih dalam dan memahami dampak ketimpangan ekonomi terhadap pelaku ludruk.

Sebagaimana dijelaskan Yanu, diskusi yang berlangsung untuk menilai sejauh mana akses pelaku informal tersebut terhadap akses sumber daya, pendidikan, layanan kesehatan,  dan peluang ekonomi.

 

 

Praktisi Antropologi Sejarah, Sosial, dan Budaya dari La Rochelle Universite, Perancis Agung Wibowo, menyampaikan bahwa ludruk memiliki akar sejarah yang mendalam sejak abad ke-19. Dalam perkembangannya, seni ini menjadi sarana bagi masyarakat untuk merayakan kehidupan, mengungkapkan kecerdasan humor, dan menyampaikan pesan moral.

 

 

”Seni ludruk memiliki kemampuan unik untuk menciptakan koneksi emosional dengan penontonnya melalui cerita-cerita lokal, mitos, dan legenda. Maka, melalui seni ini, menjadikannya wahana penting untuk menjaga dan menyebarkan nilai-nilai tradisional,” ujar Agung.

 

 

Agung melanjutkan, seni ludruk terus memberikan hiburan dan mempertahankan warisan budaya. Sehingga menurutnya, penting bagi masyarakat dan pemerintah untuk memberikan perhatian serius terhadap perlindungan sosial baginya. Tujuannya agar seni tradisional ini dapat terus berkembang dan dinikmati oleh generasi mendatang.

 

 

Dia menyampaikan persebaran seni ludruk yang dibagi menjadi dua wilayah. Pertama, wilayah bahasa jawa arekan yang meliputi Jombang, Mojokerto, Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Lamongan, Pasurauan, Malang, dan Tuban. Lalu berikutnya, wilayah bahasa jawa Madura yang meliputi Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo, dan Banyuwangi.

 

 

Agung juga menjelaskan, seni tradisional tersebut tampil dalam perayaan dan pesta. Di antaranya pernikahan, khitanan, syukuran, sedekah bumi, ruwatan desa, peringatan hari ulang tahun, giling tebu, undangan pemerintah daerah dan pusat kebudayaan, serta acara – acara lainnya.

 

 

Ia lantas menguraikan, dalam mempertahankan persaingan, ludruk juga memanfaatkan teknologi modern. Pertunjukan Ludruk sering kali didokumentasikan dan dibagikan melalui media sosial. Ini menjelaskan bahwa seni ludruk diakses oleh khalayak luas. Selain itu, kolaborasi dengan seniman dari berbagai generasi juga menjadi strategi ludruk untuk terus berkembang dan memperluas basis penggemar.

 

 

Agung menyampaikan dari hasil survainya, sebagian besar pekerja seni ludruk menganggap bahwa bermain ludruk sebagai sebuah pekerjaan. Sementara selebihnya menganggap sebagai kesenangan.

 

 

 

Seiring berjalannya waktu, ludruk mengalami transformasi untuk tetap relevan dan menarik bagi penonton masa kini. Para pelaku ludruk terus mengembangkan repertoar mereka dengan menambahkan unsur-unsur kontemporer, seperti humor aktual, satire sosial, dan sindiran terhadap peristiwa terkini.

”Hal ini membantu ludruk tetap terhubung dengan penonton yang lebih muda dan menjadikannya sebagai bentuk hiburan yang merangkul segala lapisan masyarakat,” pungkasnya. (*)