Dirut Pertamina, Nicke Widyawati Dipanggil KPK, Ada Apa?

Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati saat menyampaikan sambutan dalam acara apresiasi Dirut Pertamina kepada Bareskrim Polri di Grha Pertamina, Jakarta, Rabu (4/10/2023) (gemapos/ant)
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati saat menyampaikan sambutan dalam acara apresiasi Dirut Pertamina kepada Bareskrim Polri di Grha Pertamina, Jakarta, Rabu (4/10/2023) (gemapos/ant)

Gemapos.ID (Jakarta) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair LNG tahun 2011-2021 dengan tersangka mantan dirut Pertamina Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan.

"Hari ini, bertempat di Gedung Merah Putih KPK, tim penyidik menjadwalkan pemanggilan dan pemeriksaan saksi Nicke Widyawati," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (26/10/20203).

Selain Nicke, penyidik KPK juga memanggil dua saksi lainnya dalam perkara serupa, yakni Asisten Ahli UKP-PPP Agung Wicaksono dan pegawai SKK Migas Rayendra Sidik.

Meski demikian, Ali belum memberikan keterangan lebih lanjut apakah para saksi telah hadir memenuhi panggilan tim penyidik lembaga antirasuah.

Ali juga belum memberikan informasi mengenai keterangan apa yang akan didalami penyidik dalam pemeriksaan tersebut.

Sebelumnya, Selasa (19/9), KPK mengumumkan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2009-2014 Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan (GKK alias KA) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan LNG di PT Pertamina tahun 2011-2021.

Perkara dugaan korupsi tersebut diduga berawal sekitar tahun 2012. Saat itu, PT Pertamina memiliki rencana pengadaan LNG sebagai alternatif untuk mengatasi defisit gas di Indonesia.

Defisit gas di Indonesia diperkirakan terjadi dalam kurun waktu 2009-2040, sehingga diperlukan pengadaan LNG untuk memenuhi kebutuhan PT PLN Persero, industri pupuk, dan industri petrokimia lainnya di Indonesia.

Karen kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menjalin kerja sama dengan beberapa produsen dan penyedia LNG di luar negeri, di antaranya perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) LLC Amerika Serikat.

Karen secara sepihak langsung memutuskan untuk melakukan kontrak perjanjian dengan CCL tanpa melakukan kajian hingga analisis menyeluruh. Karen juga tidak melaporkan pada Dewan Komisaris PT Pertamina Persero.

Selain itu, pelaporan untuk menjadi bahasan di lingkup Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dalam hal ini Pemerintah, tidak dilakukan sama sekali. Sehingga, tindakan Karen tersebut tidak mendapatkan restu dan persetujuan dari Pemerintah saat itu.

Buntut keputusan tersebut, kargo LNG milik PT Pertamina Persero yang dibeli dari perusahaan CCL menjadi tidak terserap di pasar domestik yang berakibat kargo LNG menjadi kelebihan pasokan dan tidak pernah masuk ke wilayah Indonesia.

Kelebihan pasokan tersebut kemudian harus dijual dengan kondisi merugi di pasar internasional oleh PT Pertamina Persero.

Perbuatan Karen Agustiawan tersebut menimbulkan dan mengakibatkan kerugian keuangan negara sekitar 140 juta dolar AS atau sekitar Rp2,1 Triliun.

Atas perbuatannya, Karen disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. (ns)