Begini Kekhawatiran SEMA Universitas Paramadina Terhadap Praktik Oligarki di Indonesia



Gemapos.ID (Jakarta) - Serikat Mahasiswa Universitas Paramadina (SEMA PARMAD), mengaku anak-anak muda sudah gerah dengan berbagai tingkah laku parpol di Indonesia lantaran mereka melakukan oligarki.

“Mereka sudah sangat tidak nyaman dan bahkan alergi terhadap diksi-diksi yang berbau politik. Terasa benar pendidikan politik bagi kaum muda amat kurang dan itu berbahaya bagi stabilitas demokrasi ke depan karena sebenarnya pada pengertian kaum muda, demokrasi itu adalah suara rakyat sebagai representasi dari pikiran-pikiran tersebut,” kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) SEMA PARMAD, Afiq Naufal

Hal ini dikemukakannya dalam Diskusi Twitter Space bertema ‘Oligarki dalam Parpol dan Bahayanya Bagi Demokrasi’ yang diselenggarakan oleh Universitas Paramadina pada Jumat (7/7/2023).

Anak-anak muda memperkirakan praktik oligarki akan terus subur di Indonesia hingga masa depan lantaran masyarakat masih menjalankan tradisi feodalisme. 

Kondisi ini terlihat dari masih terjebak pada figur ketika pada 2019, misalnya banyak orang yang bersedia mati karena figur tertentu dalam Pemilu.

“Hal itu tentu amat berbahaya bagi demokrasi, karena alam demokrasi itu sebenarnya adalah setia dan mengedepankan gagasan, ide dan strategi masa depan Indonesia. Sementara di masyarakat kita terlihat masih setia kepada figure atau kultus dan bukan ide dan gagasan,” ujarnya. 

 

Ketum Parpol Sangat Dominan

Sementara itu Ekonom Senior Rizal Ramli menilai sejumlah partai politik (parpol) di Indonesia semakin lama semakin tidak menunjukkan sifat demokratis secara internal. Pandangan ini didasarkan ketua umum (ketum) parpol sangat dominan dalam pengambilan berbagai keputusan di dalamnya.

“Setoran-setoran yang banyak masuk ke kantong ketua umum parpol dan bukan ke organisasi,” katanya.

Sampai sekarang parpol tidak hanya memperoleh dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Namun, ini juga didapatkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan berbagai pihak termasuk para kadernya.

“Hal-hal itu tidak bisa kita tolerir lagi sesuai dengan konteks negara demokratis kita memang wajib dan perlu adanya partai-partai politik, tetapi pengelolaannya harus ada demokratisasi di dalam partai itu sendiri. Tidak bisa semua kewenangan berasal dari ketua umum parpol,” ujarnya.

Persoalan lainnya di parpol, ujar Rizal Ramli, adalah ketum parpol bisa memecat anggota-anggotanya dari jabatan anggota legislatif di DPR.

Jadi, sebanyak 575 anggota DPR hanya bagai taman kanak-kanak (TK) yang hanya ‘manut’ kepada 9 atau 10 ketum parpol. 

“Sementara ketua umumnya sendiri dicontain atau disenangkan oleh penguasa lewat proyek untuk ketua umum, kredit untuk ketua umum dan sebagainya. Sistem politik seperti itu justru bisa merusak demokrasi,” ujarnya. 

Rizal Ramli mengakui berbagai masalah di parpol tadi luput dari tindakan aktivis demokrasi 1998. Mereka hanya menggebu-gebu bagaimana menumbangkan Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun.

Namun, para pegiat demokrasi 1998 lupa memikirkan peranan kelembagaan lain termasuk peranan parpol. 

“Memang saat itu banyak aktivis mahasiswa menuntut agar partai politik pendukung Orba dibubarkan saja, sempat demo ke kantor Golkar dan lain-lain, tetapi pada titik itu kita anggap partai-partai akan menyesuaikan diri,” tuturnya. 

 

Audit Parpol

Dengan begitu Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta hanya membiayai parpol sebesar Rp30 triliun saja per tahun seperti di negara-negara Eropa seperti Inggris. Kemudian, negara-negara Jazirah Arab, Selandia Baru, dan Australia.

“Toh praktiknya sekarang parpol ‘nyolong’ ramai-ramai itu lebih dari Rp75 triliun,” ucapnya.

Pembiayaan parpol ini juga mesti dibarengi dengan kewajiban untuk mengubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) parpol. Langkah ini supaya terjadi demokratisasi internal partai politik. 

“Tidak bisa kita bicara demokrasi sementara di dalamnya sendiri tidak demokratis. Lalu, siapapun anggota parpol tidak perlu jadi mantunya, atau cucunya sendiri bisa menjadi ketua umum,” ujarnya.

Pemerintah juga harus bisa melakukan audit keuangan kepada parpol atas pemberian dana dan dana ini hanya bisa dipakai untuk kepentingan kaderisasi, kampanye. dan organisasi partai politik. 

“Tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi,” tuturnya. (adm)