Hukuman Mati Bagi Koruptor Tak Sesuai PBB

FB_IMG_1599504311227
FB_IMG_1599504311227
Gemapos.ID (Jakarta) - Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik khawatir pernyataan Wamenkumham Edward Omar Sharif terkait hukuman mati bagi dua eks menteri apakah ini sekadar peringatan atau ingin diimplementasikan. Karena, ini bisa menjurus pada persoalan hukuman mati menjadi perhatian dunia, sehingga masuk dalam daftar pertanyaan pada sidang dewan HAM internasional. Dua eks menteri tu adalah Edhy Prabowo dan Juliari P. Batubara yang melakukan kasus pidana korupsi di tengah pandemi Covid-19. "Saya kira harus ada kehati-hatian dari pemerintah kita, terutama pengambil kebijakan," katanya. Kebijakan pemerintah tidak hanya dilihat dari kemampuan mengatasi pidana tertentu, misalnya korupsi dan terorisme. Namun, internasional akan melihat rekam jejak Indonesia terkait perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengarah penghapusan hukuman mati. Jadi, negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati perlu melakukan pembenahan. Indonesia terikat pada Konvensi Kovenan tentang Hak-Hak Sipil dan Politik seperti pasal yang mengatur hak hidup yang dianggap absolut. Jika dilihat lebih perinci pada Pasal 6 Ayat (2) mengatakan negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati terdapat toleransi dengan batasan tertentu. Pertama, hanya diberikan atau diperbolehkan kepada pelanggaran HAM berat jika merujuk pada standar PBB. Dalam pasal tersebut hanya empat bentuk pelanggaran yang bisa dijatuhi hukuman mati, yakni genosida, kejahatan kemanusiaan, agresi, dan kejahatan perang. Indonesia hanya mengadopsi genosida dan kejahatan kemanusiaan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Jika pihak-pihak yang memperdebatkan apakah tindakan korupsi, narkoba, dan terorisme masuk pada pelanggaran HAM berat, maka jawabannya tidak berdasarkan standar PBB. Namun, pemerintah Indonesia memandang tiga kejahatan tersebut tergolong pada kejahatan luar biasa.