60 Negara Akan Alami Krisis Utang, Apa Penyebabnya?

"Saat ini ada lebih dari 60 negara yang diperkirakan dalam situasi debt distress atau kondisi keuangan dan utangnya dalam kondisi distress yang kemungkinan dia bisa memicu krisis utang, maupun krisis keuangan, atau krisis ekonomi," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati Rabu (26/10/2022).
"Saat ini ada lebih dari 60 negara yang diperkirakan dalam situasi debt distress atau kondisi keuangan dan utangnya dalam kondisi distress yang kemungkinan dia bisa memicu krisis utang, maupun krisis keuangan, atau krisis ekonomi," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati Rabu (26/10/2022).

Gemapos.ID (Jakarta) - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengemukakan sebanyak 60 negara akan mengalami krisis utang yang didahului oleh Sri Lanka.

"Saat ini ada lebih dari 60 negara yang diperkirakan dalam situasi debt distress atau kondisi keuangan dan utangnya dalam kondisi distress yang kemungkinan dia bisa memicu krisis utang, maupun krisis keuangan, atau krisis ekonomi," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati Rabu (26/10/2022).

Situasi debt distress terjadi akibat sejumlah sederet faktor sepertu efek pandemi Covid-19 belum berakhir. Kondisi ini diperparah oleh perang Rusia dan Ukraina berakibat krisis pangan dan energi yang menimbulkan lonjakan inflasi.

"Dengan pemulihan ekonomi yang sangat cepat, dunia dihadapkan masalah rantai pasok supply-nya tidak mampu mengikuti permintaan, maka muncul lah tekanan harga-harga atau inflasi. Diperparah dengan terjadinya perang saat ini," ucapnya. 

Dengan begitu negara-negara maju bereaksi dengan mengubah arah kebijakan moneter seperti Amerika Serikat (AS). Negara ini agresif menaikkan suku bunga acuan yang menimbulkan gejolak besar di pasar keuangan.

"Kalau otoritas moneter di AS menaikkan suku bunga dan kenaikan likuiditas, menyebabkan penguatan dari dolar luar biasa. Ini menimbulkan dampak yang harus dilihat. Kondisi ini yang kemudian menimbulkan tekanan yang makin besar," ujarnya. 

International Moneter Fund (IMF) menyebutkan prospek ekonomi global pada 2023 dalam kondisi tidak baik atau gelap. Dia menyebut risiko resesi terjadi negara maju. 

"IMF menyampaikan bahwa 2023 it's gonna be dark, itu yang disebutkan gelap. Kalau saya mengatakan begitu saya dianggap menakut-nakuti tapi sebetulnya nggak, hanya ingin menyampaikan bahwa risiko itu sangat ada dan oleh karena itu kita harus waspada," ujarnya. 

"Proyeksi dari pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan diperkirakan akan lebih lemah, bahkan kemungkinan terjadi resesi. Ini terjadi terutama di Eropa, Inggris dan beberapa negara yang memang harus melakukan berbagai macam kebijakan pengetatan baik di sisi moneter dan fiskalnya," tuturnya. (dtf/din)