Mencari Peran Partai Politik di Era Digital
Media Sosial Penggunaan media sosial tidak sekadar sarana untuk mempererat silaturahmi namun sudah membahas pada isu-isu politik, kebijakan pemerintah, perilaku para tokoh publik. Media sosial telah menjadi bagian dalam setiap kehidupan masyarakat termasuk ranah politik yang bisa dimanfaatkan untuk sarana komunikasi, mempromosikan diri, sosialisasi, termasuk promosi partai politik untuk membangun citra partai. Pemanfaatan media sosial untuk berpolitik biasanya akan terlihat ketika akan diselenggarakannya pemilu untuk kampanye politik. Selain itu dalam era digital pemanfaatan media sosial oleh sejumlah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan di Indonesia dimanfaatkan sebagai salah satu alat komunikasi untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat. Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) misalnya memanfaatkan Facebook, Twitter,Instagram, dan Youtube sebagai salah satu cara untuk menyampaikan pendapat tentang isu-isu terkini baik politik, sosial, budaya yang terjadi di tengah masyarakat. Meski pada pemerintahan sebelumnya televisi dan radio sudah dimanfaatkan meski tidak ada yang mencapai pada ranah media sosial untuk upaya interaksi dengan masyarakatnya. Perubahan yang terjadi di era digital ini seiring dengan pesatnya penetrasi internet di dunia. Jika pada akhir 2000 pengguna internet di dunia 360,9 juta, pada akhir 2013 jumlahnya sudah 2,8 miliar atau 39 persen dari jumlah penduduk dunia 7,4 miliar. Menurut data Internet World Stats, jumlah terbanyak pengguna internet 2014 berada di Asia (1,26 miliar) disusul Eropa (566,2 juta), Amerika Latin dan Karibia (302 juta), Amerika utara (300,2 juta), Afrika (240,1 juta), Timur Tengah (103,8 juta), dan Australia-Oseania (24,8 juta). Partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam mewujudkan Negara Indonesia yang demokratis. Dalam bahasan kali ini, partai politik mempunyai tugas untuk memberikan penanaman nilai-nilai untuk kedewasaan berpolitik (Pendidikan Politik) terhadap masyarakat khususnya terhadap pemilih pemula. Hal inilah yang menjadi salah satu wujud fungsi partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dimana dimaksudkan, dengan adanya pendidikan politik yang diberikan oleh partai politik mampu mencegah atau meminimalisir terjadinya konflik di kalangan pemilih pemula dalam menuju proses berdemokrasi. Pemilih pemula sendiri diartikan sebagai pemilih yang baru pertama kali akan menggunakan hak pilihnya dan masuk sebagai syarat pemilih diantaranya; 1. Seseorang yang sudah berumur 17 tahun, 2. Sudah/pernah menikah, Dan 3. Purnawirawan. Kenapa harus pemilih pemula yang harus difokuskan dalam pemberian Pendidikan Politik? Hal ini dikarenakan Pemilih Pemula saat ini sedang berada di jaman era globalisasi yang mengakibatkan arus informasi menjadi semakin tidak terbatas dan tidak dibatasi. Pemilih Pemula diibaratkan sebagai bibit emas untuk menumbuhkan pohon demokrasi yang lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan politik bagi pemilih pemula menjadi salah satu urgensi yang harus sama-sama dipikirkan. Pemilih pemula yang tidak pandai memilah informasi akan mudah sekali terkena berita palsu (hoax). Berita palsu (hoax) inilah yang nantinya mampu menjadi sumber konflik ditengah masyarakat. Banyak faktor yang mengakibatkan munculnya berita palsu (hoax), diantaranya adalah: 1. Banyaknya akun palsu, dunia digital yang serba tidak terbatas memungkinkan seseorang memiliki lebih dari satu akun, dan jika akun-akun tersebut membuat berita yang tidak benar serta dibagikan secara bersamaan, maka berita tersebut akan lebih cepat muncul kepermukaan dan akan lebih cepat dikonsumsi oleh masyarakat. 2.Euforia kebebasan berpendapat, setelah reformasi masyarakat merasa memiliki kebebasan dalam berpendapat, sehingga masyarakat lupa akan batasan moral dan etika dalam membagikan segala hal di media sosial. 3.Ingin cepat berbagi informasi, ciri khas masyarakat Indonesia yang suka bercerita mengakibatkan masyarakat Indonesia tidak bisa membedakan mana cerita yang harus diceritakan kepada banyak orang. Tidak bisa membedakan mana ranah privat dan mana ranah publik. 4. Karakter masyarakat, masyarakat Indonesia yang belum paham memilah dan malas mencari kebenaran dari suatu berita mengakibatkan berita palsu (hoax) sangat cepat dikonsumsi serta dijadikan paradigma berpikir sampai kesimpulan bertindak. Solusi, untuk mencegah munculnya faktor-faktor tersebut adalah dengan memberikan Pendidikan Media (Literasi Media) kepada masyarakat khususnya pemilih pemula. Dalam hal ini, partai politik sebagai sarana pengatur konflik dengan memberikan pendidikan politik harus mampu menanamkan nilai-nilai yang bisa membuat pemilih pemula dewasa dalam berpolitik (melakukan partisipasi aktif dalam politik). Melihat kondisi Indonesia yang beragam maka Literasi Media yang harus dibangun adalah Literasi Media yang memuat nilai-nilai keberagaman, dimana partai politik harus mampu meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya pemilih pemula bahwa Indonesia adalah Negara yang kaya akan perbedaan, perbedaan yang ada di Indonesia merupakan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, sehingga apabila terjadi perbedaan pendapat dalam suatu berita yang tersebar di masyarakat. Masyarakat tidak mudah tersulut api yang akhirnya menimbulkan konflik yang berdampak pada perpecahan terhadap persatuan dan kesatuan suatu bangsa. Mengapa harus memulai dengan Literasi Media melalui pendekatan keberagaman, hal ini dikarenakan melalui pendekatan kebhinnekaan atau kewargaan (citizenship education) dan kewargaan digital (digital citizenship) berfokus pada upaya mempersiapkan individu yang melek informasi dan warga yang bertanggung jawab, melalui studi hak, kebebasan, dan tanggung jawab. Upaya ini telah banyak digunakan dalam masyarakat yang rawan konflik kekerasan (Osler dan Starksey, 2005). Untuk itu, partai politik sebagai sarana pengatur konflik secara kongkrit harus mempunyai program kerja yang mampu menanamkan nilai-nilai keberagaman tersebut. Hal ini bisa diawali dengan media atau afiliasi media yang dibuat oleh Partai Politik tidak berisi konten-konten yang berbau SARA sehingga memunculkan stigma negatif para pendukung partai politik/ calon dari partai politik tersebut terhadap lawan politik. Dari sisi kompetensi, literasi media dalam pendidikan kewarganegaraan harus mampu melahirkan kemampuan literasi media yang tinggi ditandai oleh: 1) daya kritis dalam menerima dan memaknai pesan. 2) kemampuan untuk mencari dan memverifikasi pesan, 3) kemampuan untuk menganalisis pesan dalam sebuah diskursus, 4) memahami logika penciptaan realitas oleh media, 5) kemampuan untuk mengkonstruksi pesan positif dan mendistribusikannya kepada pihak lain. Menurut Wijetunge dan Alahakoon (2009) melalui model Empowering 8 (E8) ini, kemampuan melakukan literasi informasi dengan penelusuran suatu berita hoax dilakukan melalui 8 tahapan praktik untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Identifikasi topik/subyek, sasaran audiens, format yang relevan, jenis-jenis sumber 2) Eksplorasi sumber dan informasi yang sesuai dengan topik. 3) Seleksi dan merekam informasi yang relevan, dan mengumpulkan kutipan-kutipan yang sesuai. 4) Organisasi, evaluasi dan menyusun informasi menurut susunan yang logis, membedakan antara fakta dan pendapat, dan menggunakan alat bantu visual untuk membandingkan dan mengkontraskan informasi. 5) Penciptaan informasi dengan menggunakan kata-kata sendiri, edit, dan pembuatan daftar pustaka. 6) Presentasi, penyebaran atau display informasi yang dihasilkan dapat menunjukkan perbandingan dari kedua kelompok pemberitaan sehingga dinilai keakurasiannya. 7) Penilaian output, berdasarkan masukan dari Penilaian output, berdasarkan masukan dari orang lain. 8) Penerapan masukan, penilaian, pengalaman yang diperoleh untuk kegiatan yang akan datang; dan penggunaan pengetahuan baru yang diperoleh untuk pelbagai situasi. Dari beberapa solusi dan penjelasan diatas dapatt dicari peran partai politik dalam melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat khususnya pemilih pemula, diharapkan masyarakat nantinya dapat menyelidiki benar atau tidak informasi yang akan dibagikannya. Jika tidak benar, apalagi memuat fitnah, hingga anjuran kekerasan, maka informasi itu tak perlu disebarkan. Kalau sumber tidak jelas, tidak terverifikasi, tidak masuk akal dan tidak bermanfaat, maka tidak usah disebarkan. Di sisi lain, media massa mainstream termasuk media berita online, diharapkan tetap mengedepankan kompetensi dan independensi, sekalipun media tersebut berafiliasi dengan kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Media boleh saja diperjualbelikan, pemilik silih berganti, tetapi news room harus dipimpin orang yang kompeten dan bermoral dalam mengabdi kepada publik luas. (Wakil Sekretaris DPC PPP Kabupaten Purbalingga, Aji Setiawan)