Menkominfo Soal Draf RUU Penyiaran: Jurnalisme Investigasi Kenapa Dilarang?

Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi. (gemapos/kominfo)
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi. (gemapos/kominfo)

Gemapos.ID (Jakarta) - Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi turut merespon ramai kritik terkait draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran. Budi Arie mempertanyakan adanya larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

"Jurnalistik harus investigasi, masa dilarang? Jurnalistik harus terus berkembang karena tuntutan masyarakat juga berkembang," ujar Budi Arie di Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Pada draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, terdapat salah satu poin yang menyatakan larangan penayangan ekslusif jurnalistik investigasi.

Budi Arie menyampaikan bahwa draf Revisi UU Penyiaran tersebut hingga saat ini masih terus digodok dan bergulir di DPR RI.

"UU penyiaran lagi digodok," kata dia.

Diketahui, dalam pasal 56 ayat 2, pada RUU Penyiaran menyatakan selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai isi siaran dan konten siaran terkait narkotika, psikotropika, zat adiktif, alkohol, dan perjudian, rokok, penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, penayangan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif yang berpotensi ditiru oleh masyarakat.

Kemudian, penayangan aksi kekerasan dan/atau korban kekerasan. Konten yang mengandung unsur mistik. Konten yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender. Konten pengobatan supranatural, dan beberapa larangan lain.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia telah menyatakan menolak revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, yang saat ini sedang bergulir di DPR RI tersebut.

"AJI menolak. Pasal-pasalnya banyak bermasalah. Jadi kalau dipaksakan akan menimbulkan masalah," kata Pengurus Nasional AJI Indonesia Bayu Wardhana di Jakarta, Rabu (24/4).

Dia pun menyarankan jika UU itu harus direvisi, sebaiknya dilakukan oleh anggota DPR periode selanjutnya, bukan mereka yang di periode saat ini. Alasannya, dengan waktu yang tinggal beberapa bulan lagi, serta masih dibutuhkan pembahasan yang lebih mendalam.(ns)