Budaya Mitigasi Bencana Masih Jadi 'Barang Mewah' di Indonesia

ilustrasi (gemapos)
ilustrasi (gemapos)

Teknologi dalam prakiraan bencana hari ini semakin hari mengalami peningkatan. Perkembangan ini tentu sebagai sebuah keharusan dalam upaya adaptasi dalam menghadapi berbagai bencana alam yang ada. Sehingga dunia terus berupaya menciptakan inovasi dalam mengatasi dampak bencana, termasuk Indonesia.

Bencana sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat di Indonesia sejak lama. akan tetapi hingga kini, kita masih saja terlihat gagap menghadapi, terutama dalam memitigasi bencana.

Paling baru, di tahun 2024. Tahun yang belum genap berjalan 3 Bulan. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat telah terjadi sekitar 336 peristiwa bencana. Banjir dan tanah longsor di Sumatra Barat, kemudian delapan wilayah di Jawa Tengah yang sampai sepekan lebih terendam banjir, menjadi peristiwa bencana yang paling menonjol. Puluhan jiwa melayang, ratusan ribu penduduk terpaksa mengungsi, dan kerugian total mencapai triliunan rupiah.

Terbaru, terjadi rangkaian gempa bumi berkekuatan hingga 6,5 magnitudo. Gempa berkedalaman 10 km dengan jarak 130-an kilometer dari Tuban, Jawa Timur, pada Jumat (22/3) itu merobohkan ribuan bangunan. Meski tak ada korban jiwa, tetapi getaran gempa meruntuhkan ribuan bangunan, dengan kerusakan terkonsentrasi di Pulau Bawean, Gresik, dan Tuban. Sehingga kerugian masih cukup tinggi.

Masih teringat ketika Gempa yang pernah terjadi di Cianjur di tahun 2022 lalu. Meski lebih kecil, namun gempa tersebut menimbulkan korban jiwa, bahkan sebanyak 600 orang. Hal tersebut karena lokasi pusat gempa yang terjadi di daratan.

Terlepas dari itu semua, pada dasarnya gempa tidak mematikan. Tetapi, korban jiwa ataupun luka terjadi karena getarannya akan menyebabkan runtuhnya bangunan menimpa mereka yang tak sempat berkelit, atau minim pengetahuan dalam mitigasi bencana.

Hingga hari ini, belum terdapat teknologi yang mampu memprediksi secara persis kapan gempa bisa terjadi. Namun peringatan dini bisa menjadi sebuah antisipasi untuk mengurangi dampak suatu bencana, khususnya gempa bumi. Kita sudah banyak melewati banyak bencana, dan teknologi serta pengetahuan sudah cukup untuk menjadi senjata antisipasi. Tetapi, tetap saja menghadapi setiap bencana gempa seakan masih gagap.

Peringatan informasi terkini oleh pihak berwenang menjadi penting untuk menghadapi situasi bencana. Pihak berwenang punya akses untuk menyebar peringatan melalui ponsel setiap warganya. Peringatan bisa di kirimkan secara cepat untuk mampu menjadi alarm untuk masyarakat segera bergerak menyelamatkan diri.

Tentu pengetahuan mitigasi bencana juga sudah ditanamkan secara masif kepada setiap masyarakat. Hari ini bentuk pengetahuan mitigasi bencana masih nampak tidak serius untuk dibagikan kepada masyarakat. Teknologinya ada, pengetahuannya ada, tetapi distribusi ke setiap kepala masih mengkhawatirkan. Budaya mitigasi bencana masih seperti barang mewah bagi sebagian besar masyarakat indonesia.

Khusus gempa bumi, kita patut mencontoh sepenuhnya apa yang dilakukan Jepang. Mitigasi bencana mereka sampai ke tingkat perorangan warga sudah teruji. Itu sebabnya ketika gempa dahsyat berkekuatan 7,5 magnitudo menerpa Jepang pada 1 Januari 2024, jumlah korban jiwa relatif sedikit, kurang dari 200 orang.

Selain budaya mitigasi untuk masyarakatnya, keandalan mitigasi gempa di Jepang juga mendapatkan andil besar pada kepatuhan dalam mendirikan bangunan yang tahan gempa. Uniknya, Indonesia sudah memiliki peraturan tentang hal itu. Namun, implementasinya masih sangat longgar dan kewajibannya pun belum sampai pada bangunan permukiman.

Pertanyaan seriusnya, entah sampai kapan Indonesia akan terus gagap dalam menghadapi bencana. Akan sampai kapan pengetahuan dan budaya mitigasi masih jadi barang mewah, yang membuat masyarakat terus menjadi korban.