Otsus Papua dan Pengakuan Hak Adat, Tantangan Implementasi

Retno Wulandari, Kepala Bidang Pemerintahan Umum dan Pemerintahan Desa, Kedeputian Bidang Polhukam, Sekretariat Kabinet. (foto:gemapos/setkab)
Retno Wulandari, Kepala Bidang Pemerintahan Umum dan Pemerintahan Desa, Kedeputian Bidang Polhukam, Sekretariat Kabinet. (foto:gemapos/setkab)

Otonomi khusus terhadap Papua pertama kali diberikan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Latar belakang utama pemberian otonomi khusus dimaksud adalah untuk mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu, otonomi khusus diberikan dalam rangka untuk mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa; memberikan penghargaan atas kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua; serta memastikan pengelolaan sumber daya alam dan penyelenggaraan pemerintahan dapat mewujudkan tercapainya kesejahteraan masyarakat agar tidak lagi ada kesenjangan antara Provinsi Papua dan provinsi lainnya.

Pemberian otonomi khusus bagi Papua dilakukan pada momentum yang tepat, yaitu saat orde reformasi dan ketika ada tuntutan masyarakat Papua untuk mengembalikan nama Provinsi Irian Jaya menjadi Papua. Pada saat itu, pemerintah bertekad untuk menyelesaikan berbagai permasalahan besar bangsa Indonesia dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, misalnya pengakuan terhadap eksistensi hak adat, penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) serta penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Hal tersebut sejalan dengan tujuan dari kebijakan otonomi khusus (Otsus) Papua, yaitu memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi provinsi di Papua untuk menyelenggarakan pemerintahan secara khusus serta pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat Papua. Kebijakan otsus juga menempatkan orang asli papua (OAP) sebagai subyek utama sekaligus sebagai obyek dalam pelaksanaan pembangunan di Papua.

Saat ini UU Nomor 21 Tahun 2001 telah diubah sebanyak dua kali, pertama dengan UU Nomor 35 Tahun 2008 dan UU Nomor 2 Tahun 2021. Perubahan pertama UU Otsus Papua Tahun 2008 adalah dalam rangka mengakomodasi pembentukan Provinsi Papua Barat serta menghapus ketentuan pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), sehingga pemilihan gubernur dan wakil gubernur di Papua dilakukan sama seperti daerah lainnya, yaitu melalui pemilihan langsung. Perubahan UU Otsus Papua kedua tahun 2021 dilakukan dalam rangka penyempurnaan kebijakan-kebijakan otsus Papua khususnya mengenai pelaksanaan kewenangan khusus, penyelenggaraan pemerintahan di Papua, dan kebijakan pemberian dana otsus serta perbaikan tata kelola dana otsus. Sebagai pelaksanaan lebih lanjut atas UU Otsus Papua, telah disusun Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 106 Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Kebijakan Otonomi Khusus Papua (PP Kewenangan Papua) dan PP Nomor 107 Tahun 2021 tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan, dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua.

Kewenangan Khusus Papua
Kewenangan yang dimiliki oleh daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota secara umum telah diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, serta dijabarkan dalam pembagian urusan konkuren yang terdapat dalam lampirannya. Khusus untuk daerah di Papua, diberi kewenangan khusus yang diatur tersendiri baik di UU Otsus Papua maupun PP Kewenangan Papua.

Dalam UU Otsus Papua maupun PP Kewenangan Papua, kewenangan provinsi mencakup kewenangan seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan absolut pemerintah dan kewenangan pemerintah terkait kebijakan perencanaan pembangunan; dana perimbangan; sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara; kewenangan pembinaan sumber daya manusia; dan pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standardisasi nasional. Kewenangan khusus yang diberikan meliputi bidang pendidikan dan kebudayaan, kesehatan, sosial, perekonomian, kependudukan dan ketenagakerjaan, serta pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup. Rincian kewenangan khusus bagi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di Papua tercantum dalam lampiran PP Kewenangan Papua.

Dalam rangka melaksanakan amanat pasal-pasal tertentu dalam UU Otsus, pemerintahan daerah provinsi membentuk peraturan daerah khusus (perdasus) Papua. Selain perdasus, juga terdapat peraturan daerah provinsi (perdasi) yang merupakan perda provinsi pada umumnya. Perdasus dan perdasi ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) melalui rapat paripurna, dan selanjutnya ditandatangani oleh gubernur. Beberapa kewenangan khusus yang diamanatkan untuk diatur dalam perdasus yaitu: pemberian pertimbangan oleh gubernur terhadap perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah terkait Provinsi Papua; pelaksanaan tugas dan wewenang Majelis Rakyat Papua (MRP); pembagian penerimaan bagi hasil pertambangan minyak bumi dan gas alam antara provinsi dan kabupaten/kota; serta usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua yang memanfaatkan sumber daya alam. Sedangkan beberapa kewenangan yang diamanatkan untuk diatur dalam perdasi antara lain: tata cara penyusunan dan pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) provinsi, perubahan dan perhitungan, serta pertanggungjawaban dan pengawasan terhadap APBD provinsi; pembentukan perangkat daerah; pembentukan, struktur organisasi, dan tata kerja pemerintahan distrik; serta kebijakan mengenai kepegawaian provinsi.

Pengakuan Hak-hak Adat dalam Kebijakan Otsus Papua
Masyarakat hukum adat Papua merupakan salah satu dari 19 lingkungan hukum adat yang ada di Indonesia, sebagaimana teori yang disampaikan oleh Prof. Van Vollenhoven masih dapat mempertahankan eksistensinya, sehingga selayaknya mendapat pengakuan dari pemerintah. UU Otsus Papua telah berupaya mengakui, mengakomodasi, dan memberikan penghargaan terhadap eksistensi masyarakat hukum adat di Papua. Pasal 1 UU Otsus telah memberikan penjabaran mengenai definisi adat, masyarakat adat, hukum adat, masyarakat hukum adat, hak ulayat, dan orang asli Papua. Penjabaran definisi menandakan bahwa istilah tersebut disebut berulang-ulang dalam UU.

Pengakuan terhadap masyarakat adat dalam UU Otsus tersebut, antara lain, diwujudkan dengan: amanat pembentukan suatu lembaga yang berfungsi sebagai representasi kultural orang asli Papua, yaitu Majelis Rakyat Papua (MRP); adanya anggota DPRD yang berasal dari jalur pengangkatan yang dipilih berdasarkan wilayah adat; pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan dengan menghormati hak-hak masyarakat adat; pembangunan dilakukan dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat adat; pengakuan terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat dan hak perorangan warga masyarakat adat; serta pengakuan terhadap peradilan adat dalam masyarakat hukum adat tertentu. Secara khusus, UU Otsus Papua mengamanatkan bahwa penerimaan khusus yang diperoleh provinsi dan kabupaten/kota dari pemerintah pusat yang besarnya setara dengan 2,25 persen dari plafon dana alokasi umum (DAU) nasional salah satunya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan OAP dan penguatan lembaga adat.

Dalam PP Kewenangan Papua, setiap kewenangan khusus yang diberikan kepada provinsi di Papua, misalnya bidang kesehatan, pendidikan, kebudayaan, dan pembangunan berkelanjutan, selalu disertai dengan kewajiban mendayagunakan potensi adat, memperhatikan hak masyarakat adat, dan mendukung pelayanan terhadap masyarakat adat. Di bidang pemerintahan, dibentuk distrik (setingkat kecamatan) yang struktur organisasi dan tata kerjanya disusun sesuai tipologi dan klasifikasi berbasis adat. Selain itu, terdapat kewajiban bagi gubernur dan bupati/wali kota untuk menetapkan wilayah adat yang akan dijadikan dasar/basis daerah pengangkatan beserta alokasi kursi bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Papua maupun dewan perwakilan rakyat kabupaten/kota (DPRP/DPRK) yang menjabat melalui mekanisme pengangkatan (perwakilan adat).

Agar cita-cita luhur pengakuan adat dalam kebijakan Otsus Papua dapat tercapai, maka norma-norma yang tertuang dalam UU Otsus dan PP Kewenangan Papua tersebut perlu dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan yang lebih teknis, baik peraturan di tingkat pusat maupun perdasus/perdasi. Selain itu setiap kebijakan-kebijakan teknis dari kementerian/lembaga yang terkait Papua, perlu mendukung pengarusutamaan adat demi kemajuan masyarakat adat Papua.

MRP dan DPRP/DPRK sebagai Representasi Adat Masyarakat Papua
Dalam rangka memberikan penghargaan terhadap adat dalam penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan otsus Papua, maka dibentuk MRP yang merupakan representasi kultural OAP, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka pelindungan hak-hak OAP dengan berlandaskan pada penghormatan terhadap adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup beragama. MRP beranggotakan orang-orang asli Papua yang terdiri atas wakil-wakil adat, wakil-wakil agama, dan wakil-wakil perempuan yang jumlahnya masing-masing sepertiga dari total anggota MRP dan bertugas selama lima tahun. MRP dibentuk di setiap provinsi di Papua dan bukan merupakan penyelenggara pemerintahan daerah seperti halnya Gubernur (beserta perangkat daerah) dan DPRP.

MRP mempunyai tugas dan wewenang: memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh penyelenggara pemilihan kepala daerah (pilkada); memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap rancangan perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama gubernur; memberikan saran, pertimbangan, dan persetujuan terhadap rencana perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga yang berlaku di Papua, khusus yang menyangkut perlindungan hak OAP; memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, pengaduan masyarakat adat, umat beragama, kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya yang menyangkut hak-hak OAP, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; dan memberikan pertimbangan kepada DPRP, gubernur, DPRK, dan bupati/wali kota mengenai hal-hal yang terkait dengan perlindungan hak-hak OAP. Selain itu, MRP juga dapat memberikan pertimbangan kepada partai politik dalam seleksi dan rekrutmen politik partai, memberikan persetujuan atas pemekaran daerah, serta memberikan pertimbangan kepada gubernur dan bupati/wali kota dalam menetapkan wilayah adat sebagai dasar daerah pengangkatan anggota DPRP/DPRK yang berasal dari jalur pengangkatan.

Anggota DPRP maupun DPRK terdiri dari anggota yang dipilih dalam pemilihan umum (pemilu/jalur pemilihan) dan diangkat dari unsur OAP (jalur pengangkatan). DPRP/DPRK yang berasal dari jalur pengangkatan berjumlah seperempat dari jumlah DPRP/DPRK dari jalur pemilihan, dengan masa tugas yang sama yaitu lima tahun. Anggota DPRP/DPRK yang berasal dari jalur pengangkatan harus OAP yang berasal dari suku-suku wilayah adat provinsi (bagi DPRP) dan subsuku wilayah adat kabupaten/kota (bagi DPRK) yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pemda provinsi maupun kabupaten/kota setempat. Anggota DPRP/DPRK yang berasal dari jalur pengangkatan harus memenuhi syarat-syarat umum dan khusus sebagaimana diatur dalam PP Kewenangan Papua.

Pengisian anggota DPRP/DPRK dari jalur pengangkatan dilaksanakan oleh panitia seleksi (pansel) yang dibentuk oleh menteri dalam negeri (mendagri) (untuk DPRP) dan pansel yang dibentuk oleh gubernur (untuk DPRK). Sebelum dilaksanakan pengisian oleh pansel, gubernur dan bupati/walikota harus menetapkan terlebih dahulu wilayah adat di daerah masing-masing yang akan menjadi basis daerah pengangkatan. Masing-masing daerah pengangkatan dapat mengirimkan calon untuk mengisi anggota DPRP/DPRK dari jalur pengangkatan, yang kemudian diseleksi oleh pansel.

Tantangan dalam Implementasi Kebijakan Otsus
Pengarusutamaan adat dalam setiap kewenangan khusus serta penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kekhususan yang diberikan kepada Papua tentu mengalami berbagai tantangan dalam implementasinya. Tantangan pertama adalah belum adanya kesepahaman dalam penerapan definisi OAP sehingga belum tersedia data resmi mengenai jumlah OAP. Berdasarkan UU Otsus, OAP adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia yang terdiri atas suku-suku asli di Provinsi Papua (wilayah Papua) dan/atau orang yang diterima dan diakui sebagai OAP oleh masyarakat adat Papua. Jumlah OAP di setiap daerah provinsi dan kabupaten/kota bahkan dijadikan dasar pertimbangan pembagian penerimaan khusus dalam rangka otsus. Dalam kenyataannya, hingga saat ini belum ada suatu lembaga baik pusat maupun daerah di Papua yang memiliki data yang akurat mengenai jumlah OAP. Direktor Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah berupaya melakukan pendataan dalam rangka penyediaan data OAP di setiap daerah melalui pemadanan nama, namun demikian upaya tersebut tentunya belum dapat mengakomodasi OAP yang tidak memiliki nama khas Papua karena berasal dari orang-orang yang diterima dan diakui sebagai OAP oleh masyarakat. Guna pemenuhan data OAP yang akurat, diperlukan sinergi antara lembaga adat (mulai dari subsuku hingga suku wilayah adat) dengan pemerintah daerah, khususnya Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) guna pendataan faktual OAP. Selain sinergi tersebut, tentunya diperlukan suatu kesepakatan dan kesepahaman dari lembaga adat mengenai kriteria OAP yang dapat diterima oleh masyarakat adat.

Tantangan kedua adalah komitmen pemerintah untuk pemajuan, penegakan dan perlindungan HAM bagi masyarakat Papua. Sebagaimana diketahui, lahirnya UU Otsus Papua tahun 2001 sebagai bentuk upaya pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan bangsa di Papua, salah satunya pelanggaran HAM di masa lalu. Pasal 45 dan Pasal 46 UU Otsus Papua pada dasarnya telah mengatur kewajiban pemerintah untuk membentuk perwakilan Komisi Nasional (Komnas) HAM, Pengadilan HAM, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Hingga pada perubahan kedua UU Otsus Papua Tahun 2021, kedua pasal tersebut tidak dicabut, sehingga masih menyisakan pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk melaksanakan amanat kedua pasal dalam UU tersebut.

Tantangan ketiga adalah lambatnya proses penyusunan dan penetapan perdasus dan perdasi yang telah diamanatkan dalam UU Otsus dan PP Kewenangan Papua. Pasal 75 UU Otsus mengamanatkan bahwa perdasus dan perdasi yang melaksanakan ketentuan UU ini harus ditetapkan paling lambat 1 tahun sejak UU ini ditetapkan dan apabila belum ditetapkan, maka pemerintah dapat mengambil alih pelaksanaan kewenangan tersebut. Seyogianya, pada tanggal 1 Juli 2022, seluruh perdasus dan perdasi pelaksanaan UU Otsus telah ditetapkan atau telah diambil alih oleh pemerintah pusat. Namun demikian dengan telah dibentuknya empat provinsi baru hasil pemekaran pada tahun 2022, tentu amanat Pasal 75 UU Otsus tersebut belum dapat dilaksanakan. Kemendagri mempunyai peran yang sangat strategis dalam melaksanakan fasilitasi penyusunan Perdasus dan Perdasi dimaksud agar keterlambatan penyusunannya tidak berlarut-larut.

Tantangan keempat adalah belum adanya pemahaman yang komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan mengenai pelaksanaan kewenangan khusus yang diberikan kepada Papua, khususnya kewenangan konkuren yang tercantum dalam lampiran PP Kewenangan Papua. Lampiran PP Kewenangan Papua memberikan kewenangan yang lebih luas bagi pemerintah daerah di Papua dibanding daerah lainnya. Konsekuensi dari semakin luasnya kewenangan tersebut adalah semakin bertambahnya tugas yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah di Papua. Untuk itu, pemerintah pusat perlu melakukan supervisi dan fasilitasi, baik kementerian/lembaga teknis maupun Kemendagri. Sebagai contoh, kewenangan pengelolaan pendidikan menengah di Papua diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota, sedangkan sebelumnya dan di daerah lain, berdasarkan Lampiran UU Pemda, kewenangan pengelolaan pendidikan menengah berada pada pemerintah provinsi. Pengalihan pengelolaan pendidikan menengah kepada kabupaten/kota tersebut sempat menimbulkan polemik hingga terdapat permohonan pengujian Lampiran PP Kewenangan Papua ke Mahkamah Agung. Meskipun pada akhirnya telah diperoleh solusi, namun polemik tersebut seharusnya dapat dihindari apabila terdapat komunikasi dan kesepahaman antara Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dengan pemerintah provinsi di Papua.

Retno Wulandari, Kepala Bidang Pemerintahan Umum dan Pemerintahan Desa, Kedeputian Bidang Polhukam, Sekretariat Kabinet