Peneliti Bicara Potensi Polarisasi dan Politik Luar Negeri Jelang Pemilu 2024

Seminar Indonesia’s Political Outlook 2024 dengan tema “Disrupsi Demokrasi dan Tantangan Kepemimpinan Nasional dan Global” di BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Selasa (16/1/2024). (foto:gemapos/BRIN)
Seminar Indonesia’s Political Outlook 2024 dengan tema “Disrupsi Demokrasi dan Tantangan Kepemimpinan Nasional dan Global” di BRIN Kawasan Sains Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Selasa (16/1/2024). (foto:gemapos/BRIN)

Gemapos.ID (Jakarta) - Peneliti Pusat Riset Politik, Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora (OR IPSH) BRIN, Irine Hiraswari Gayatri, menjelaskan redefinisi politik luar negeri bebas aktif Indonesia.

Irine yang merupakan peneliti pada Klaster Riset Politik Luar Negeri dan Isu-isu Internasional, mengungkapkan Indonesia telah melakukan Diplomasi 4+1. Yakni perlindungan WNI di luar negeri, diplomasi ekonomi, diplomasi kedaulatan, memajukan peran luar negeri Indonesia, peran kebijakan di tingkat regional dan kancah global, lalu peningkatan dan penguatan infrastruktur diplomatik.

Irine menyampaikan rekomendasi dari penelitiannya bahwa politik luar negeri Indonesia “Bebas Aktif” yang dicanangkan pada 1950-an menekankan kemerdekaan, kedaulatan, dan non-blok.

“Namun, kita menghadapi tantangan internal dan eksternal di antaranya geopolitik, dinamika regional, keamanan maritim, masalah hak asasi manusia, prioritas ekonomi dan perdagangan, perubahan kepemimpinan global, isu-isu terkait teknologi, keberlanjutan dan perubahan iklim, serta dampak global dan regional,” jelas Irine seperti dilansir dalam laman resmi BRIN seperti dikutip gemapos di Jakarta, Kamis (18/1/2024).

Berbagai masalah ini mengharuskan Indonesia memadukan kepentingan nasional, kebijakan yang adaptif, mampu menangani perselisihan, mengadopsi fleksibilitas dan diplomasi aktif, dan mempertahankan kedudukan internasional.

Baginya, jika dilengkapi dengan kapasitas dan infrastruktur diplomatik yang lebih baik, Indonesia mungkin akan memiliki kebijakan luar negeri yang lebih tegas pada tahun 2024.

Hal itu dicontohkan oleh Gerakan Non-Blok, kerja sama Selatan-Selatan, serta upaya perantara perdamaian yang lebih aktif. Misalnya, transit diplomatik yang intensif di Palestina dan Afghanistan.

Selain itu, Peneliti PR Politik BRIN dari Klaster Agama, Etnisitas dan Gender, Nostalgiawan Wahyudhi mengedepankan pentingnya isu Palestina menjadi wacana pada pemilihan presiden (pilpres) 2024.

Menurutnya, sikap politik luar negeri Indonesia yang sangat bold, all out, dan responsif terhadap isu Palestina ikut mendorong isu ini digarisbawahi oleh semua kandidat presiden.

Wawan, demikian ia biasa dipanggil, mengungkapkan isu Palestina telah bergeser dari isu agama ke kemanusiaan dan politik (genosida) yang meluas, untuk menunjukkan komitmen dan dukungan atas kemanusiaan dan anti penjajahan. Wawan lalu menjabarkan sikap para capres cawapres mengenai konflik di timur tengah.  

Menurutnya diversifikasi dukungan kelompok kanan terutama pada 2 calon (Anis-Muhaimin dan Prabowo-Gibran) membuat penggunaan politik identitas tereduksi dan cenderung kurang relevan.

“Namun, ada potensi polarisasi identitas akan bangkit lagi apabila terjadi pengerucutan pada dua paslon terutama di putaran kedua, jika penggunaan politik identitas mulai dilekatkan pada calon tertentu,” ujarnya. (rk/*)