Stafsus Kemendag Sebut Indonesia Untung dari Banding Nikel WTO

Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Internasional Bara Krishna Hasibuan. (gemapos/kompasiana)
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Internasional Bara Krishna Hasibuan. (gemapos/kompasiana)

Gemapos.ID (Jakarta) - Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Internasional Bara Krishna Hasibuan mengungkapkan bahwa Indonesia mendapat keuntungan saat menunggu dibentuknya badan banding oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait dengan gugatan Uni Eropa tentang kebijakan pelarangan ekspor nikel. Hal tersebut disampaikan Bara saat berbincang di Timika, Papua Tengah, Minggu, (3/12/2023).

"Bagi Indonesia itu bagus, karena tanpa ada keputusan final, dalam arti keputusan final itu ada ditingkat banding, jadi apapun policy-nya tetap bisa dilanjutkan," ujar Bara dalam keterangannya dikutip Senin (4/12/2023).

Bara menyampaikan, sambil menunggu hasil akhir dari banding yang diajukan pada Desember 2022, Indonesia tetap dapat melanjutkan kebijakan hilirisasi nikel.

Lebih lanjut, untuk melanjutkan banding WTO akan membentuk Badan Banding dan harus mendapat persetujuan dari semua anggota. Menurut Bara, hingga saat ini Amerika Serikat masih belum memberikan persetujuannya.

Badan Banding sendiri diperkirakan baru akan terbentuk pada 2024. Namun demikian, sidang banding tidak dapat langsung dilakukan, karena menunggu antrean.

"Badan banding baru terbentuk awal 2025, AS masih blocking. Kalau disetujui permintaan AS, enggak langsung terbentuk, butuh enam bulan, kasus baru akan dibahas pertengahan 2026," kata Bara.

Indonesia dinyatakan kalah atas gugatan Uni Eropa di WTO pada Oktober 2022. Gugatan tersebut terkait dengan pelarangan ekspor mineral mentah khususnya nikel ke luar negeri yang ditetapkan berlaku sejak 1 Januari 2020.

Berdasarkan hasil sidang, Indonesia dinyatakan kalah karena industri hilirisasinya dianggap belum matang oleh WTO. Menurut WTO, negara yang melarang ekspor suatu komoditas, harus memiliki industri yang benar-benar berkembang, sedangkan Indonesia, dinilai masih belum mencapai kemampuan tersebut.

Presiden Joko Widodo dengan tegas meminta meminta untuk terus melawan gugatan Uni Eropa atas kebijakan hilirisasi nikel. (ns)