Pelanggaran Jurnalistik Bukan Kejahatan

jurnalistik
jurnalistik
Gemapos.ID (Jakarta) Praktisi hukum Hendrayana menyatakan pelanggaran karya jurnalistik bukan kejahatan, tetapi pelanggaran etik. Delik pers bukan terminologi hukum, tapi dalam praktik muncul karena diperkenalkan oleh Pasal 61 dan 62 KUHP tentang ancaman kejahatan percetakan. Pasal ini kemudian menjadi pintu masuk munculnya delik pers. Delik pers itu merupakan tindakan pidana yang berhubungan dengan pers. Dalam KUHP pasal-pasal yang berkaitan dengan delik pers terdapat 32 pasal. "Suatu tindakan bisa jadi tindak pidana pers jika memenuhi tiga unsur," kata mantan tenaga ahli hukum di Komisi Penyiaran Indonesia itu pula," katanya dalam workshop Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) yang mengusung tema 'Jurnalisme di Era Kenormalan Baru' yang digelar secara virtual pada Rabu (8/7/2020) Ketiga unsur tersebut adalah harus dilakukan dengan barang cetakan, harus merupakan pernyataan pikiran atau perasaan (sengaja dan bukan dipaksa), dan harus ternyata bahwa publikasi itu merupakan suatu syarat untuk menumbuhkan kejahatan. Hendrayana juga menyampaikan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh seorang jurnalis yang terkena jeratan hukum, seperti memberitahukan pimpinan redaksi di tempat kerja, membuat kronologis permasalahan, mengumpulkan bahan-bahan berita dan bukti rekaman, data-data sumber berita, dan menyiapkan saksi-saksi meringankan. Jika jurnalis dipanggil sebagai saksi/tersangka, diminta untuk jeli memeriksa surat panggilan, memberitahukan ke atasan, menyiapkan semua dokumen berita yang dipermasalahkan, gunakan hak tolak jika polisi meminta menyebutkan nara sumber dan meminta kepada penyidik untuk meminta keterangan Dewan Pers untuk menilai berita yang dipersoalkan. (ant/adm)